kEGIATAN

Jumat, 13 Mei 2011

Kesulitan bergaul

Mengatasi Kesulitan Bergaul

 
Life Skill
Dari sekian masalah yang harus kita hadapi dalam hidup ini, kesulitan dalam bergaul adalah salah satunya. Bagi yang kebetulan sedang menghadapi masalah ini, mungkin ada dua hal yang perlu diingat:
Pertama, pergaulan itu erat kaitannya dengan kemampuan. Kemampuan di sini artinya bukan hasil bawaan dari lahir tetapi merupakan kapabilitas yang diraih dari usaha dalam mengembangkan diri (developmental process). Jadi, apapun kepribadian anda, pada dasarnya anda punya kesempatan yang sama untuk bergaul seperti juga orang lain yang punya model kepribadian lain.
Sah-sah saja kita menyimpulkan, misalanya saja: saya orangnya termasuk Melankolis yang introvert, pemikir dan pesimis. Dia kan orangnya termasuk Sanguinis yang ekstrovert, suka ngomong dan optimis. Saya orangnya termasuk Phlegmatis yang introvert, pengamat dan pesimis. Dia kan orangnya termasuk Koleris yang ekstrovert pelaku dan optimis. Dan bla, bla, bla lainnya.
Tetapi ada satu hal yang perlu diingat bahwa dunia ini tidak peduli dengan apakah kita termasuk orang berkepribadian ini dan itu. Dunia ini hanya tahu satu hal: kalau kita mengalami kesusahan bergaul, hidup kita juga mengalami kesusahan yang tidak kita inginkan. Titik. Ini adalah sebuah dalil mengapa kita perlu mengembangkan potensi yang mendukung perbaikan kemampuan kita dalam bergaul, terlepas apapun model kepribadian kita.
Sejumlah istilah ilmiah yang bisa kita temukan dalam buku-buku kepribadian itu mestinya kita gunakan untuk melihat sisi plus-minus agar kita bisa mengembangkan diri sejati kita (bukan jadi seperti orang lain). Sebab, apapun model kepribadian kita pasti ada sisi plus yang perlu kita kembangkan untuk memperbaiki hidup dan pasti pula ada sisi minus yang perlu kita kontrol agar tidak sampai merugikan atau membahayakan.
Kedua, pergaulan itu tidak identik dengan banyak ngomong atau sedikit ngomong, tidak identik dengan apakah anda seorang pendiam atau tidak pendiam. Prinsip yang berlaku dalam pergaulan adalah bagaimana kita berkomunikasi dengan orang lain (to build) dan bagaimana kita menjaga hubungan itu (to maintain). Karenanya, jangan heran bila menjumpai ada orang yang banyak ngomong tetapi pergaulannya sempit dan jangan heran pula bila melihat ada orang yang sedikit ngomong tetapi pergaulannya luas.
Kalau melihat acuan Pendidikan Ketrampilan Hidup (Life Skill Education) yang dipakai PBB (Unesco), akan kita temukan empat pilar utama yang harus dilatih untuk memperbaiki ketrampilan hidup (terlepas apapun latar belakang pendidikan formal dan apapun model kepribadian anda). Keempat pilar utama itu adalah:
  • Belajar untuk mengetahui )learning to know). Semua orang perlu meningkatkan kemampuannya di sini, yaitu: kemampuan berpikir kritis, berpikir dalam menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, memahami konsekuensi tindakan, dan seterusnya.
  • Belajar untuk menjadi (learning to be): meningkatkan kemampuan personal seperti bagaimana menangani stress, bagaimana meningkatkan kepercayaan diri, kesadaran diri, dan seterusnya
  • Belajar untuk hidup bersama (learning to live together): kemampuan sosial seperti komunikasi, negoisasi, kerjasama tim, bergaul, dan seterusnya
  • Belajar untuk melakukan (learning to do): kemampuan manual / praktek atau keahlian kerja teknis sesuai dengan bidang kita masing-masing
Sekali lagi perlu kita yakinkan pada diri sendiri bahwa bergaul adalah bagian penting dari ketrampilan hidup. Kita semua sudah tahu bahwa di dunia ini pasti tidak ada buku atau perpustakaan yang bisa mengungkap manfaat pergaulan karena saking banyaknya manfaat itu.
Hambatan yang menyulitkan
 
Ada beberapa hal yang menghambat usaha kita untuk mengatasi kesulitan dalam bergaul, antara lain:
 
1. Arogansi tersembunyi
Ini biasanya sangat halus bahkan kita sendiri kurang menyadarinya. Namun demikian ada bentuk-bentuk riil yang bisa mewakili, misalnya kita menolak untuk bertanya kepada orang lain lebih dulu dengan alasan "untuk apa", menolak berjabat tangan lebih dulu, dan seterusnya. Meski ini adalah hak kita, tetapi kalau yang kita inginkan adalah menjalin pergaulan, maka kita perlu menggantinya dengan yang lebih friendly.
Selain arogansi tersembunyi ini, ada juga yang bisa kita sebut dengan istilah "terlalu pasif". Kita memang tidak memiliki alasan "untuk apa" yang bernada mengangkat diri kita di atas orang lain, tetapi kita terlalu pasif, misalnya menunggu ditanya lebih dulu, menunggu diajak berjabat tangan lebih dulu, menunggu disapa lebih dulu, menunggu diajak senyum lebih dulu, dan seterusnya. Dua hal ini bisa mengganggu pergaulan.
2. Terlalu memikirkan diri sendiri
Ini bisa mengganggu kelancaraan saat sedang berbicara / berdialog dengan orang lain. Ketika sedang berbicara dengan orang lain, jangan memikirkan bagaimana sepatu anda, bagaimana rambut anda, bagaimana cara duduk anda, bagaimana seluler anda, dan seterusnya. Atau juga jangan mengembangkan asumsi seperti misalnya: bagaimana orang lain menilai kostum saya, dan sejumlah "bagaimana" yang lain. Ini kerap bisa membuat konsentrasi anda bukan pada pembicaraan, tetapi kepada diri sendiri. Kalau Anda sedikit-sedikit melihat ke diri sendiri, mungkin anda akan kehilangan momen untuk menghangatkan suasana. Jadi, fokuskan pada bagaimana menciptakan suasana supaya bisa menjadi hidup, bukan memikirkan diri sendiri.
 
3. Terlalu banyak menilai orang lain (jugdmental)
Menilai itu tahapan berikutnya. Untuk membuka pintu pergaulan, nomorduakan itu. Atau juga, simpan dulu di batin anda. Terlalu cepat menghakimi orang lain bisa mengganggu kelancaran usaha dalam membuka pergaulan. Yang lebih dibutuhkan di sini adalah kemampuan memunculkan asumsi bahwa semua orang itu punya sisi positif dan juga punya sisi negatif. Asumsi ini akan banyak membantu dalam melancarkan urusan pergaulan. Ada sebuah pepatah yang mengingatkan kita begini: "Kalau Anda menginginkan orang yang sempurna seperti yang Anda inginkan, sebaiknya Anda hidup seorang diri dengan mengunci kamar"
 
4. Terpenjara oleh pemahaman sempit dan mempersempit
Sadar atau tidak, seringkali kita menciptakan pemahaman yang mempersempit hidup kita sendiri. Ini biasanya terkait dengan urusan agama, suku, ras, almamater, status sosial, status pendidikan, dan lain-lain. Meski jarang kita ucapkan tetapi dalam prakteknya kerap kita jalankan. Kita merasa agak kurang sreg bergaul dengan lain agama, lain suku, lain almamater, lain status, dan seterusnya.
Memang ini hak kita juga tetapi bila dikaitkan dengan upaya mengatasi kesulitan pergaulan, ya hendaknya ini perlu kita pikirkan ulang. Jangan-jangan hanya karena kita punya pemahaman yang sempit lalu hidup kita menjadi sempit. Dunia ini sebetulnya tidak mempersempit kita. Tetapi karena kita punya pemahaman yang sempit tentang dunia, akhirnya dunia kita menjadi sempit.
5. Masalah kejiwaan umum 
Ada sejumlah masalah kejiwaan umum yang juga kerap menghambat pergaulan, seperti misalnya kurang pede, malu tanpa alasan yang jelas, minder, takut, cepat ngambek, sering terjadi konflik dengan orang lain, dan lain-lain. Ada banyak tip yang bisa kita baca dari berbagai sumber untuk mengatasi masalah ini. Namun begitu, ada satu kata kunci yang tidak bisa ditinggalkan, yaitu: menghilangkannya dengan cara mempraktekkan (learning by doing), belajar memperbaiki diri dari praktek yang kita lakukan.
Keberanian Anda dalam bergaul akan membaik apabila Anda terus mempraktekkan pergaulan. Kepercayaan diri Anda akan tumbuh membaik bukan karena Anda banyak tahu tentang tip pergaulan tetapi karena Anda banyak latihan bergaul (practicing). Tip, strategi atau pengetahuan itu dibutuhkan pada saat Anda sedang mempraktekkan, bukan sedang memikirkan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk diingat juga adalah mencampur adukkan antara pergaulan dengan kepentingan lain, katakanlah di sini misalnya kepentingan bisnis. Untuk orang tertentu pada keadaan tertentu dengan konteks tertentu dan pada level keakraban tertentu, terkadang bisa menganggu kalau kita bergaul tetapi tujuan kita adalah ingin memasarkan produk.
Ini memang tidak mutlak dan terkadang lebih banyak terkait dengan persoalan cara dan level keakraban. Berdasarkan omongan orang yang sering saya dengar, orang agak merasa terganggu dengan model pergaulan yang keakrabannya belum begitu mendalam tetapi sudah bicara menawarkan produk dengan cara yang agresif. Jika Anda harus melakukannya juga, tempuhlah cara yang paling asertif (sopan, tidak bernada "memaksa", didukung dengan alasan yang kuat).
Solusi yang bisa Anda lakukan
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah kesulitan bergaul ini, antara lain:
1. Melatih kepedulian
Kepedulian itu bentuknya bermacam-macam dari mulai yang paling ringan bisa kita lakukan sampai ke yang paling berat. Ini misalnya adalah showing interest (menunjukkan ketertarikan) pada kehidupan orang lain, bisa diajak berbicara tentang apa yang penting menurut orang lain, memberikan alasan pada orang lain bahwa Anda tidak berada di pulau yang berbeda dengan mereka, dan seterusnya.
Di sini berarti Anda perlu meningkatkan wawasan yang terkait dengan beberapa topik utama di lingkungan Anda.
Meskipun showing interest itu gratis tetapi kalau untuk kepentingan mengatasi masalah kesulitan bergaul, biasanya berperan sangat penting. Untuk selanjutnya, bentuk kepedulian ini bisa Anda tingkatkan, misalnya melibatkan diri pada aktivitas bersama dengan orang lain, memainkan peranan yang bermanfaat bagi orang lain, memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan anda, dan seterusnya. Intinya, jangan sampai kita menyalahkan model kepribadian yang kita miliki seiring dengan serangkaian kesulitan bergaul yang kita alami sementara kita sendiri jarang menunjukkan ketertarikan pada topik atau hal yang menarik buat orang lain. Kita merasa hidup di pulau yang jauh dengan orang lain.
2. Fokuskan pada pengembangan dialog dan suasana
Seperti yang sudah kita bahas di muka, terlalu memikirkan diri sendiri dan terlalu membuat penilaian atas orang lain pada saat pembicaraan berlangsung, ini bisa mengganggu suasana. Karena itu, fokuskan pada suasana, topik pembicaraan, dan kehangatan dialog. Bagaimana caranya? Di antaranya adalah: a) mengajukan pertanyaan yang bisa kita pelajari dengan menggunakan kaidah 5W1H (what, where, who, why, when, dan how), b) mendengarkan dan mengungkapkan, c) memunculkan humor atau guyonan yang mendukung dan sesuai kebutuhan.
3. Menghormati "privacy" orang lain
Ada beberapa hal tentang orang lain yang membuatnya akan lebih suka kalau kita ketahui, tetapi juga ada beberapa hal tentang orang lain yang akan membuatnya tidak nyaman kalau kita ketahui. Hal-hal tentang orang lain yang membuatnya tidak nyaman kalau kita ketahui inilah yang saya maksudkan dengan privacy. Biasanya yang kedua ini adalah masalah-masalah yang sangat pribadi.
Setiap orang itu biasanya memiliki tiga wilayah kehidupan. Pertama adalah wilayah publik (diketahui secara umum, misalnya tinggal di mana, sekolah di mana, dst), kedua, wilayah privat (diketahui hanya oleh orang yang dekat, pacarnya siapa, musuhnya siapa, dst), dan ketiga adalah wilayah pribadi (tidak ingin diketahui oleh siapapun kecuali dirinya atau suami-istrinya). Untuk kepentingan kelancaran bergaul, akan lebih OK kalau kita memfokuskan diri untuk mengetahui hal-hal yang memang orang lain merasa nyaman untuk diketahui (wilayah publik) dan melupakan apa saja yang membuat orang lain merasa tidak nyaman bila diketahui (wilayah pribadi)
4. Lihat orang lain yang lebih berhasil
Pergaulan itu erat kaitannya dengan seni (the art) atau permainan, (playing the game) tentang bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain. Karena seni, maka gayanya berbeda-beda dan ini tidak terkait dengan apakah anda orang yang tipenya banyak ngomong atau sedikit ngomong. Dan, dalam seni permainan, biasanya ada dua hal yang mendasar, yaitu: a) bagaimana anda mengontrol emosi, b) bagaimana anda mengimbangi emosi orang lain.
Dua hal ini memang agak sulit kalau dijelaskan dengan kata-kata. Akan lebih cepat bisa anda pahami dengan melihat bagaimana orang lain yang secara prestasi di atas Anda menjaga hubungan. Mereka yang telah berhasil menjaga hubungan sampai bertahun-tahun, umumnya sudah memiliki kematangan emosi yang lebih bagus. Ini bukan berarti mereka tidak pernah konflik, gap, berbeda pendapat dan lain-lain, tetapi karena mereka sudah tahu bagaimana bermain-main dengan emosi. Karena itu, ada hal-hal yang ditanggapi dengan diam, dengan bicara, dengan ketawa, dengan biasa-biasa, dengan humor, dan lain-lain.
Kalau Anda kesulitan mencari contoh, lihatlah bagaiman orang tua kita yang telah bertahun-tahun mempertahankan hubungan dalam membina keluarga. Secara umum bisa kita lihat bahwa kecanggihannya dalam memainkan emosi terletak pada kemampuannya untuk tidak "meng-ekstrim-kan" sesuatu yang berpotensi akan mengacaukan keadaan atau hubungan. Untuk mencapai kemampuan ini memang perlu latihan dan ini tidak terkait langsung dengan umur tetapi terkait dengan pengalaman hidup (life experiencing).
5. Tingkatkan prestasi Anda
Ini adalah kunci untuk mengatasi masalah-masalah kejiwaan umum itu. Semakin banyak hal-hal positif yang bisa Anda realisasikan dari diri Anda, maka semakin baguslah Anda merasakan diri anda. Bagaimana kita merasakan diri kita akan terkait dengan bagaimana kita berhadapan dengan orang lain. Karena itu, menurut teori kesehatan mental, orang yang sedang depresi (punya perasaan negatif terhadap diri sendiri, orang lain, keadaan atau Tuhan) tidak bisa membangun hubungan dengan orang lain secara positif dan konstruktif.
Semua yang kita bahas di sini adalah tahap awal untuk mengatasi kesulitan bergaul. Silahkan Anda mengembangkan sendiri dari praktek langsung. Selamat mempraktekkan!!

Konflik diri


Bahaya Konflik Diri

PENGERTIAN KONFLIK-DIRI


Ada yang bisa kita sederhanakan bahasanya soal apa itu konflik-diri. Konflik di sini mengandung arti oposisi atau berlawanan. Konflik-diri adalah keadaan batin di mana orang merasa adanya pertentangan, gap atau ketidakharmonisan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi; antara harapan dan kenyataan; antara idealita dan realita. Kalau pinjam istilahnya Chris Moxey dari BBC Health, konflik itu pokoknya ada tension (ketegangan), terlepas itu ada real pressure atau tidak.


Apa ada orang yang tidak pernah punya perasaan demikian? Tentu tidak ada. Namanya juga hidup. Kalau begitu, apakah semua orang menderita konflik-diri? Di sini esensinya. Pertentangan antara harapan dan kenyataan itu tidak otomatis menciptakan konflik-diri. Jadi bukan pertentangannya yang melahirkan konflik-diri. Lalu apanya? Meminjam istilah yang dipakai para motivator, yang melahirkan konflik diri adalah penyikapan dan perlakuannya (2P).


Karena itu, seperti kata Norman Vincent Peale, sikap yang kita gunakan untuk menyikapi kenyataan itu jauh lebih menentukan ketimbang fakta hidup yang kita jumpai. "Any fact facing us is not as important as our attitude toward it, for that determines our success or failure", begitu kesimpulannya.
Pertentangan itu akan menimbulkan konflik ketika kita menyikapinyan dengan cara "untuk mempertentangkan" atau untuk mematikan (perkembangan). Tapi, pertentangan itu tidak akan menimbulkan koflik seandainya saja kita belajar menyikapinya dengan cara untuk mendamaikan atau mendinamiskan hidup kita.
Sebagai contoh misalnya saja kita merasa sering gagal dalam usaha, entah itu gagal dalam usaha akademis, usaha karir atau usaha bisnis. Gagal di sini adalah fakta hidup yang bisa memicu konflik dan bisa pula tidak. Jika kita menyikapinya dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip "learning" sebagai hukum Tuhan, maka ini bisa menimbulkan konflik.


Learning dalam pengertiannya sebagai hukum itu adalah memperbaiki dengan melakukan, bukan mengetahui saja. Learning adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Learning yang dimaksud di sini adalah proses pengembangan diri dan perbaikan melalui serangkaian aktivitas yang kita lakukan. Learning adalah perubahan pada prilaku, kebiasaan dan budaya melalui pengalaman atau praktek (pengetahuan dan skill). Menurut pengalaman Jacky Chan, akan lebih mudah kita menjadi orang yang lebih baik dengan cara melakukan sesuatu atau berkarya (learning).


Karena itu, seperti kata John Clark (Managing people problems, Stress News July 2002 vol.14 no.3), konflik itu ada yang bisa disebut konflik produktif (productive conflict) dan ada yang bisa disebut konflik destruktif (destructive conflict). Produktif di sini artinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kita (meski rasanya menurut kita tidak enak).
Kalau melihat praktek hidup sehari-hari, rasanya pendapat di atas berlaku juga pada konflik pribadi dengan dirinya (intrapersonal conflik). Kalau kita merasa kurang berpotensi untuk meriah prestasi, lalu perasaan itu kita gunakan untuk mengaktifkan tombol-tombol learning di dalam diri, ini produktif. Lain soal kalau kita gunakan untuk menghukum diri, memasung diri, membelenggu diri, dan lain-lain. Cara-cara seperti ini sudah jelas destruktif (merusak).


Bahaya 3D


Berbahayakah konflik-diri itu? Kalau melihat teori dan prakteknya, itu berbahaya. Dari sekian bahaya yang berpotensi muncul itu kira-kira adalah:


1. Disorientasi
Disorientasi di sini adalah kehilangan orientasi hidup. Secara orientasi, menurut teori learning (Aaron E. Black & Edward L. Deci, 2000), manusia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
  • Autonomy,
  • Controlled
  • Impersonal
Autonomy adalah orang yang sudah memiliki orientasi mandiri atau matang: misalnya tahu tujuannya, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang harus dihindari, dan seterusnya. Sedangkan controlled adalah orang yang masih membutuhkan kontrol orang lain, misalnya saja harus ada perintah, harus ada larangan, harus diawasi terus, dan setersunya. Sementara, impersonal adalah orang yang memang sudah tidak memiliki orientasi lagi, kehilangan arah, kehilangan kontak dengan dirinya.


Nah, konflik-diri yang tidak segera kita hentikan sangat berpotensi mengantarkan kita terkena disorientasi ini. Bagaimana cara menghentikannya? Tentu kita perlu belajar menjadi orang yang otonomiâ. Untuk menjadi seperti itu, syaratnya adalah menjadikan pertentangan sebagai dorongan untuk menjalankan learning atau membuat konflik itu menjadi produktif dan tetap terarah.


2. Demotivator
Demotivator adalah lawan dari motivator (pendorong). Orang yang di dalam dirinya banyak demotivator akan cenderung apatis, pesimis, malas-malasan, dan berbagai bentuk hal-hal negatif lainnya. Apa saja demotivator manusia itu? Tentu saja tidak mungkin disebutkan satu persatu karena saking banyaknya. Cuma, dari praktek hidup ini kita tahu bahwa konflik-diri termasuk salah satu demotivator.
Ketika kita mempertentangkan diri kita dengan realitas yang kita hadapi (dalam bentuk pertentangan yang destruktif), yang muncul adalah stress, distress, depresi dan seterusnya. Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, berbagai bentuk kerusakan emosi itu (emotional demage) sangat terkait dengan soal motivasi dan demotivasi hidup.
Karena itu, kalau memperhatikan orang yang "termotivasi" dalam hidupnya, mereka punya dua hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Pertama, memiliki sasaran hidup yang lebih jelas di pikirannya. Sasaran itu memotivasi langkahnya. Kedua, memiliki kemampuan dalam mengatasi hal-hal buruk agar tidak sampai memperburuk batinnya terlalu lama. Mereka mampu melihat hal-hal buruk dengan cara dan dalam bentuk yang lebih sehat.


3. Destroyer
Destroyer adalah perusak. Kalau melihat teori tentang bakat, kecerdasan, kompetensi atau potensi SDM, rasanya semua sepakat bahwa setiap orang itu memiliki apa yang bisa kita sederhanakan dengan istilah “keunggulan personal”. Keunggulan ini ada yang memang sudah ada sejak lahir (pembawaan) dan ada yang sifatnya hasil olahan atau pemberdayaan yang terus bisa di-explore.
Meski sudah sedemikian rupa orang itu memiliki keunggulan personal, tetapi prakteknya banyak orang yang tidak menemukan apalagi menggunakan. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya adalah kegagalan kita dalam mengontrol diri atau menguasai diri. Nah, konflik-diri juga terkait dengan kemampuan kita dalam mengontrol perasaan, pikiran dan sikap terhadap realita.
Karena itu, seorang pakar kecerdasan dari Harvard, Howard Gardner, pernah menyimpulkan bahwa peranan kita jauh dan jauh lebih menentukan ketimbang peranan kecerdasan yang kita miliki. Artinya, biarpun kita memiliki banyak kecerdasan, namun kalau kitanya tidak cerdas (mau menggali, mau menggunakan, dst), ya kecerdasan itu tidak ada manfaatnya. Untuk bisa menjadi orang yang cerdas dalam menggunakan kecerdasan ini syaratnya adalah kemampuan mengendalikan dan menguasai diri. Einstein sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya tidak mungkin dihasilkan dari tangan seseorang yang batinnya gundah.


MENDINAMISKAN KONFLIK


Berdasarkan praktek hidup, tidak mungkin kita menghilangkan konflik itu. Pertentangan (gap) antara harapan dan kenyataan terjadi setiap saat. Yang perlu kita lakukan adalah mendinamiskan konflik itu supaya menjadi konflik yang produktif. Apa yang bisa kita lakukan? Di bawah ini ada sejumlah pilihan yang bisa kita jadikan acuan:
Pertama, ciptakan pandangan positif terhadap diri sendiri dan kenyataan. Kata kuncinya di sini adalah menciptkan. Kenapa harus diciptakan? Berdasarkan bukti, pandangan negatif itu muncul sendiri secara otomatik saat menghadapi kenyataan buruk atau disharmoni. Kalau kita gagal, ya kegagalan itu langsung negatif.
Karena itu ada yang menyarankan agar kita menciptakan emosi kedua yang positif. Semua orang yang normal kalau gagal atau menghadapi kenyataan buruk pasti mengeluarkan reaksi semacam penolakan atau ketidakpercayaan (denial and distrust). Supaya api konflik batin tidak membara terlalu lama, ciptakan emosi kedua yang lebih positif, misalnya menerima untuk memperbaiki, mengambil hikmah, dan lain-lain. Ini akan mempengaruhi bagaimana kita menyikapi dan memperlakukan.
Kedua, miliki sasaran dan program. Ini kunci. Kita mungkin sulit "memaafkan" hal-hal buruk yang menimpa kita, kalau kitanya tidak berubah ke arah yang lebih baik. Gagal masuk UMPTN yang kita impikan akan terus menghantui apabila kita juga gagal membuat diri kita menjadi orang lebih baik. Untuk menjadi orang yang lebih baik, kuncinya adalah punya sasaran yang jelas dan punya program untuk mencapainya dan itu kita jalankan. Bagaimana membuat sasaran yang jelas ini sudah sering kita bahas di sini. Menurut seorang pakar pendidikan, Dr. Felice Leonardo Buscaglia, trauma yang abadi adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.
Ketiga, tingkatkan ketajaman sensitivitas. Maksudnya di sini adalah cepat mengetahui apa yang terjadi pada batin kita. Masih banyak orang yang tidak mau peduli dengan kondisi batinnya sehingga tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Konflik batin akan menjadi semakin akut apabila tidak segera diatasi. Untuk bisa mengatasi ini memang perlu tahu dan sadar. Saran Covey, banyak-banyaklah berkomunikasi dengan diri anda. Kehilangan kontak batin dapat mengobarkan api konflik yang terus membara. Tahu akan membuat kita cepat menghentikan, membatalkan dan mencari obatnya.


Ajaran agama juga punya saran yang sama. Kita disarankan untuk sering-sering "ingat" pada Tuhan. Ingat di sini tentu mengandung pengertian membangun kontak atau komunikasi. Diharapkan, dengan punya kontaks yang bagus, ini memudahkan kita untuk menjaga diri: apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita hindari, apa yang lebih baik kita lakukan, apa yang lebih baik kita hindari, dan apa yang boleh kita lakukan atau boleh dihindari (free choice). Jadi, mengingat Tuhan itu esensinya adalah memperbaiki diri. Seperti yang digariskan dalam firman Tuhan, orang yang melupakan Aku akan lupa dirinya sendiri (losing contact) dan mengundang kehidupan yang bergejolak (tension).


Keempat, banyak-banyak bergaul, berinteraksi atau berada di lingkungan orang-orang positif. Orang lain memang tidak menentukan diri kita, tetapi untuk menjadi orang yang dinamis atau positif, kita butuh orang lain yang seperti itu. Sebagian besar orang merasa lebih cepat belajar dari orang lain langsung yang dilihatnya ketimbang membaca buku atau mendengarkan ceramah.
Kelima, jadilah fasilitator yang baik. Menjadi fasilitator artinya kita siap dan terbuka (secara mental) terhadap berbagai peristiwa atau kejadian dan menjadikannya sebagai materi untuk learning. Menjadi fasilitator artinya bukan menjadi rival atau oposan dimana kita hanya mau menerima sesuatu yang kita harapkan saja. Meski ini sah-sah saja kita lakukan tetapi persoalannya bukan di situ. Di dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita kontrol tetapi ada juga hal-hal yang ada yang tidak bisa dikontrol (kecuali harus dihadapi). Di sini masalahnya. Semoga bermanfaat.


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes