Bahaya Konflik Diri
PENGERTIAN KONFLIK-DIRI
Ada yang bisa kita sederhanakan bahasanya soal apa itu konflik-diri. Konflik di sini mengandung arti oposisi atau berlawanan. Konflik-diri adalah keadaan batin di mana orang merasa adanya pertentangan, gap atau ketidakharmonisan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi; antara harapan dan kenyataan; antara idealita dan realita. Kalau pinjam istilahnya Chris Moxey dari BBC Health, konflik itu pokoknya ada tension (ketegangan), terlepas itu ada real pressure atau tidak.
Apa ada orang yang tidak pernah punya perasaan demikian? Tentu tidak ada. Namanya juga hidup. Kalau begitu, apakah semua orang menderita konflik-diri? Di sini esensinya. Pertentangan antara harapan dan kenyataan itu tidak otomatis menciptakan konflik-diri. Jadi bukan pertentangannya yang melahirkan konflik-diri. Lalu apanya? Meminjam istilah yang dipakai para motivator, yang melahirkan konflik diri adalah penyikapan dan perlakuannya (2P).
Karena itu, seperti kata Norman Vincent Peale, sikap yang kita gunakan untuk menyikapi kenyataan itu jauh lebih menentukan ketimbang fakta hidup yang kita jumpai. "Any fact facing us is not as important as our attitude toward it, for that determines our success or failure", begitu kesimpulannya.
Pertentangan itu akan menimbulkan konflik ketika kita menyikapinyan dengan cara "untuk mempertentangkan" atau untuk mematikan (perkembangan). Tapi, pertentangan itu tidak akan menimbulkan koflik seandainya saja kita belajar menyikapinya dengan cara untuk mendamaikan atau mendinamiskan hidup kita.
Sebagai contoh misalnya saja kita merasa sering gagal dalam usaha, entah itu gagal dalam usaha akademis, usaha karir atau usaha bisnis. Gagal di sini adalah fakta hidup yang bisa memicu konflik dan bisa pula tidak. Jika kita menyikapinya dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip "learning" sebagai hukum Tuhan, maka ini bisa menimbulkan konflik.
Learning dalam pengertiannya sebagai hukum itu adalah memperbaiki dengan melakukan, bukan mengetahui saja. Learning adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Learning yang dimaksud di sini adalah proses pengembangan diri dan perbaikan melalui serangkaian aktivitas yang kita lakukan. Learning adalah perubahan pada prilaku, kebiasaan dan budaya melalui pengalaman atau praktek (pengetahuan dan skill). Menurut pengalaman Jacky Chan, akan lebih mudah kita menjadi orang yang lebih baik dengan cara melakukan sesuatu atau berkarya (learning).
Karena itu, seperti kata John Clark (Managing people problems, Stress News July 2002 vol.14 no.3), konflik itu ada yang bisa disebut konflik produktif (productive conflict) dan ada yang bisa disebut konflik destruktif (destructive conflict). Produktif di sini artinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kita (meski rasanya menurut kita tidak enak).
Kalau melihat praktek hidup sehari-hari, rasanya pendapat di atas berlaku juga pada konflik pribadi dengan dirinya (intrapersonal conflik). Kalau kita merasa kurang berpotensi untuk meriah prestasi, lalu perasaan itu kita gunakan untuk mengaktifkan tombol-tombol learning di dalam diri, ini produktif. Lain soal kalau kita gunakan untuk menghukum diri, memasung diri, membelenggu diri, dan lain-lain. Cara-cara seperti ini sudah jelas destruktif (merusak).
Bahaya 3D
Berbahayakah konflik-diri itu? Kalau melihat teori dan prakteknya, itu berbahaya. Dari sekian bahaya yang berpotensi muncul itu kira-kira adalah:
1. Disorientasi
Disorientasi di sini adalah kehilangan orientasi hidup. Secara orientasi, menurut teori learning (Aaron E. Black & Edward L. Deci, 2000), manusia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
- Autonomy,
- Controlled
- Impersonal
Autonomy adalah orang yang sudah memiliki orientasi mandiri atau matang: misalnya tahu tujuannya, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang harus dihindari, dan seterusnya. Sedangkan controlled adalah orang yang masih membutuhkan kontrol orang lain, misalnya saja harus ada perintah, harus ada larangan, harus diawasi terus, dan setersunya. Sementara, impersonal adalah orang yang memang sudah tidak memiliki orientasi lagi, kehilangan arah, kehilangan kontak dengan dirinya.
Nah, konflik-diri yang tidak segera kita hentikan sangat berpotensi mengantarkan kita terkena disorientasi ini. Bagaimana cara menghentikannya? Tentu kita perlu belajar menjadi orang yang otonomiâ. Untuk menjadi seperti itu, syaratnya adalah menjadikan pertentangan sebagai dorongan untuk menjalankan learning atau membuat konflik itu menjadi produktif dan tetap terarah.
2. Demotivator
Demotivator adalah lawan dari motivator (pendorong). Orang yang di dalam dirinya banyak demotivator akan cenderung apatis, pesimis, malas-malasan, dan berbagai bentuk hal-hal negatif lainnya. Apa saja demotivator manusia itu? Tentu saja tidak mungkin disebutkan satu persatu karena saking banyaknya. Cuma, dari praktek hidup ini kita tahu bahwa konflik-diri termasuk salah satu demotivator.
Ketika kita mempertentangkan diri kita dengan realitas yang kita hadapi (dalam bentuk pertentangan yang destruktif), yang muncul adalah stress, distress, depresi dan seterusnya. Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, berbagai bentuk kerusakan emosi itu (emotional demage) sangat terkait dengan soal motivasi dan demotivasi hidup.
Karena itu, kalau memperhatikan orang yang "termotivasi" dalam hidupnya, mereka punya dua hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Pertama, memiliki sasaran hidup yang lebih jelas di pikirannya. Sasaran itu memotivasi langkahnya. Kedua, memiliki kemampuan dalam mengatasi hal-hal buruk agar tidak sampai memperburuk batinnya terlalu lama. Mereka mampu melihat hal-hal buruk dengan cara dan dalam bentuk yang lebih sehat.
3. Destroyer
Destroyer adalah perusak. Kalau melihat teori tentang bakat, kecerdasan, kompetensi atau potensi SDM, rasanya semua sepakat bahwa setiap orang itu memiliki apa yang bisa kita sederhanakan dengan istilah “keunggulan personalâ€. Keunggulan ini ada yang memang sudah ada sejak lahir (pembawaan) dan ada yang sifatnya hasil olahan atau pemberdayaan yang terus bisa di-explore.
Meski sudah sedemikian rupa orang itu memiliki keunggulan personal, tetapi prakteknya banyak orang yang tidak menemukan apalagi menggunakan. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya adalah kegagalan kita dalam mengontrol diri atau menguasai diri. Nah, konflik-diri juga terkait dengan kemampuan kita dalam mengontrol perasaan, pikiran dan sikap terhadap realita.
Karena itu, seorang pakar kecerdasan dari Harvard, Howard Gardner, pernah menyimpulkan bahwa peranan kita jauh dan jauh lebih menentukan ketimbang peranan kecerdasan yang kita miliki. Artinya, biarpun kita memiliki banyak kecerdasan, namun kalau kitanya tidak cerdas (mau menggali, mau menggunakan, dst), ya kecerdasan itu tidak ada manfaatnya. Untuk bisa menjadi orang yang cerdas dalam menggunakan kecerdasan ini syaratnya adalah kemampuan mengendalikan dan menguasai diri. Einstein sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya tidak mungkin dihasilkan dari tangan seseorang yang batinnya gundah.
MENDINAMISKAN KONFLIK
Berdasarkan praktek hidup, tidak mungkin kita menghilangkan konflik itu. Pertentangan (gap) antara harapan dan kenyataan terjadi setiap saat. Yang perlu kita lakukan adalah mendinamiskan konflik itu supaya menjadi konflik yang produktif. Apa yang bisa kita lakukan? Di bawah ini ada sejumlah pilihan yang bisa kita jadikan acuan:
Pertama, ciptakan pandangan positif terhadap diri sendiri dan kenyataan. Kata kuncinya di sini adalah menciptkan. Kenapa harus diciptakan? Berdasarkan bukti, pandangan negatif itu muncul sendiri secara otomatik saat menghadapi kenyataan buruk atau disharmoni. Kalau kita gagal, ya kegagalan itu langsung negatif.
Karena itu ada yang menyarankan agar kita menciptakan emosi kedua yang positif. Semua orang yang normal kalau gagal atau menghadapi kenyataan buruk pasti mengeluarkan reaksi semacam penolakan atau ketidakpercayaan (denial and distrust). Supaya api konflik batin tidak membara terlalu lama, ciptakan emosi kedua yang lebih positif, misalnya menerima untuk memperbaiki, mengambil hikmah, dan lain-lain. Ini akan mempengaruhi bagaimana kita menyikapi dan memperlakukan.
Kedua, miliki sasaran dan program. Ini kunci. Kita mungkin sulit "memaafkan" hal-hal buruk yang menimpa kita, kalau kitanya tidak berubah ke arah yang lebih baik. Gagal masuk UMPTN yang kita impikan akan terus menghantui apabila kita juga gagal membuat diri kita menjadi orang lebih baik. Untuk menjadi orang yang lebih baik, kuncinya adalah punya sasaran yang jelas dan punya program untuk mencapainya dan itu kita jalankan. Bagaimana membuat sasaran yang jelas ini sudah sering kita bahas di sini. Menurut seorang pakar pendidikan, Dr. Felice Leonardo Buscaglia, trauma yang abadi adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.
Ketiga, tingkatkan ketajaman sensitivitas. Maksudnya di sini adalah cepat mengetahui apa yang terjadi pada batin kita. Masih banyak orang yang tidak mau peduli dengan kondisi batinnya sehingga tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Konflik batin akan menjadi semakin akut apabila tidak segera diatasi. Untuk bisa mengatasi ini memang perlu tahu dan sadar. Saran Covey, banyak-banyaklah berkomunikasi dengan diri anda. Kehilangan kontak batin dapat mengobarkan api konflik yang terus membara. Tahu akan membuat kita cepat menghentikan, membatalkan dan mencari obatnya.
Ajaran agama juga punya saran yang sama. Kita disarankan untuk sering-sering "ingat" pada Tuhan. Ingat di sini tentu mengandung pengertian membangun kontak atau komunikasi. Diharapkan, dengan punya kontaks yang bagus, ini memudahkan kita untuk menjaga diri: apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita hindari, apa yang lebih baik kita lakukan, apa yang lebih baik kita hindari, dan apa yang boleh kita lakukan atau boleh dihindari (free choice). Jadi, mengingat Tuhan itu esensinya adalah memperbaiki diri. Seperti yang digariskan dalam firman Tuhan, orang yang melupakan Aku akan lupa dirinya sendiri (losing contact) dan mengundang kehidupan yang bergejolak (tension).
Keempat, banyak-banyak bergaul, berinteraksi atau berada di lingkungan orang-orang positif. Orang lain memang tidak menentukan diri kita, tetapi untuk menjadi orang yang dinamis atau positif, kita butuh orang lain yang seperti itu. Sebagian besar orang merasa lebih cepat belajar dari orang lain langsung yang dilihatnya ketimbang membaca buku atau mendengarkan ceramah.
Kelima, jadilah fasilitator yang baik. Menjadi fasilitator artinya kita siap dan terbuka (secara mental) terhadap berbagai peristiwa atau kejadian dan menjadikannya sebagai materi untuk learning. Menjadi fasilitator artinya bukan menjadi rival atau oposan dimana kita hanya mau menerima sesuatu yang kita harapkan saja. Meski ini sah-sah saja kita lakukan tetapi persoalannya bukan di situ. Di dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita kontrol tetapi ada juga hal-hal yang ada yang tidak bisa dikontrol (kecuali harus dihadapi). Di sini masalahnya. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar