MELACAK KONSEP KEPRIBADIAN
Dalam Al-Qurãn Dan Hadist
Oleh. Mbah Rangka Jenggotwodo
Dalam Al-Qurãn Dan Hadist
Oleh. Mbah Rangka Jenggotwodo
Kepribadian berasal dari kata pribadi yang berarti orang seorang alias se (satu) diri, dan kemudian pada kata se diri itu disisipi huruf n, sehingga menjadi sendiri.
Orang Inggris menyebut kepribadian dengan istilah personality, berasal dari kata person, yang juga berarti orang (manusia) seorang. Begitu juga orang Arab menyebut kepribadian dengan istilah syahshiyyah, dari kata syahshun, yang berarti orang soerang pula. Ketiga istilah dalam tiga bahasa itu belum menjawab pertanyaan apa itu kepribadian, karena masih bersifat umum dan kabur. Tapi dalam bahasa Indonesia ada istilah lain yang cukup menjawab, walau belum cukup gamblang, yaitu istilah jati diri, yang berarti keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati).
Melalui istilah jati diri kita diajak menukik pada titik yang paling inti dari hakikat seorang manusia.
Di sana kita dapati dua kenyataan tentang seorang manusia. Pertama, dia adalah satu diri yang berbeda dari yang lain (unik). Kedua, dia adalah satu diri yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan seorang atau banyak orang (kelompok) lain. Kenyataan pertama terlihat sisi fisik setiap orang, yang bisa dipastikan tidak ada seorang pun yang sama persis dengan orang lain; lebih-lebih bila dilihat melalui DNA setiap orang yang memang masing-masing bersifat khas. Berdasar kenyataan itu, setiap manusia, orang per orang, memang unik.
Sedangkan kenyataan kedua terlihat melalui perilaku setiap orang, yang sering kali tampak memiliki persamaan atau kesamaan dengan orang lain. Berdasar kenyataan itu, benarlah kata orang bahwa manusia adalah makhluk yang suka meniru.
Lantas, ketika bicara tentang kepribadian, wilayah mana yang hendak kita jelajahi; wilayah fisik atau perilaku?
Hippocrates (400 SM) dan kemudian Galen (150 M) telah berusaha melakukan pembagian kepribadian berdasar humor (cairan) dalam tubuh, dan hasilnya adalah seperti terurai di bawah ini.
Sepanjang perkembangan sains Barat, yang dikatakan berinduk pada filsafat, bisa dipastikan bahwa ilmu filsafatlah yang pertama kali ‘mempermasalahkan’ kepribadian. Tapi ilmu yang jelas mengotak-atik masalah kepribadian secara luas adalah psikologi (ilmu jiwa); dengan catatan bahwa psikologi pada mulanya juga lahir sebagai salah satu cabang ilmu filsafat.
Selanjutnya, bicara tentang kepribadian berarti bicara tentang ma-nusia dalam konteks psikologi. Artinya, psikologilah yang dijadikan alat untuk mengurai habis apa itu kepribadian.
Kepribadian sebagai salah satu obyek kajian psikologi bahkan telah melahirkan cabang psikologi tersendiri, yaitu psikologi kepribadian, yang merupakan salah satu dari psikologi terapan (applied psychology). Artinya, psikologi kepribadian adalah ilmu yang terpakai alias digunakan, bukan sebuah ilmu murni (pure science), yang hanya bersifat teori atau wacana. Tapi untuk apa?
Tujuan penguasaan ilmu
Setiap ilmu dipelajari karena ada tujuan tertentu; demikian juga dengan obyek ilmu itu sendiri.
Psikologi, misalnya, dipelajari antara lain demi tujuan kesehatan dan pendidikan. Selain itu, psikologi juga bisa dimanfaatkan demi kepentingan politik secara umum, untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan; demi kepentingan imperialis, untuk melakukan penjajahan; dan demi kepentingan kapitalis, untuk mengendalikan industri dan perdagangan.
Karena itu, tidak aneh bila cabang psikologi semakin hari menjadi semakin rumit, mengikuti segala arah ‘kemajuan’ hidup manusia, khususnya yang tinggal di perkotaan. Namun yang perlu dicatat di sini adalah kenyataan bahwa ada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang seolah-olah imun (kebal) atau luput dari sorotan ilmu itu sendiri.
Dengan kata lain, ada pihak-pihak yang lincah menghindar dari keharusan logis untuk menjadi obyek. Mereka lebih suka menjadi subyek dari setiap ilmu, sehingga dengan demikian setiap ilmu bisa mereka gunakan sebagai alat untuk menguasai orang atau pihak lain. Sebagai alat untuk membuat diri mereka menjadi serigala atas sesama manusia (homo homini lupus).
Ingatlah pepatah mereka: the man behind the gun, yang menekankan betapa pentingnya senjata namun lebih penting lagi adalah manusia yang memegang senjata itu, dan di atas segalanya, senjata yang terpenting adalah ilmu.
Sejarah membuktikan bahwa eksistensi manusia Barat meluas dan meninggi seiring pertumbuhan dan perkembangan sains mereka. Berkat sains (yang antara lain melahirkan berbagai bentuk senjata), mereka menebar jaring-jaring kekuasaan dan pengaruh dari daratan Eropa ke benua-benua lainnya.
Teori (colongan) Freud
Sigmund Freud, pengagas psikoanalisa, yang teorinya masih berpengaruh luas sampai sekarang.
Dalam pembicaraan tentang kepribadian, pandangan Sigmun Freud (1865-1939) telah mempengaruhi manusia sepanjang abad 20. Pengaruhnya bahkan meluas sampai pada bidang antropologi, pendidikan, kesenian, dan sastra, yang mungkin belum akan tersingkirkan pada abad 21 ini. Mengapa?
Freud, dokter Austria keturunan Yahudi, mengajukan teori (psikoanalisa) yang boleh dikatakan canggih. Sebagian teorinya, terutama tentang libido, telah dibantah banyak orang. Namun ajarannya tentang struktur kepribadian yang terdiri dari unsur id, ego dan super ego masih berpengaruh secara luas. Demikian juga konsepnya tentang kesadaran yang amat sangat terkenal. Teori Freud tentang kepribadian, tentu saja, berpusat pada ego (aku), artinya pada manusia sebagai satu diri. Dengan kata lain, psikologi Freud adalah psikologi yang masih sangat kental bau filsafatnya.
Untuk menegaskan bahwa pada diri manusia itu sebenarnya terdapat sejumlah sifat yang rumit, Freud ‘menyederhanakan’ menjadi tiga bagian tersebut di atas. Ego, menurut Freud, adalah bagian kepribadian manusia yang sadar. Tapi harap dicatat bahwa sadar yang dimaksud Freud ini bukan sadar ilmiah tapi hanya sadar dalam arti hidup sebagai mahkluk biologis. Istilah yang mewakili dalam bahasa Indonesia mungkin bangun, (ter)jaga, siuman (ketiganya dalam bahasa Inggris disebut awake), atau peduli (bahasa Inggrisnya aware). Keadaan sadar yang demikian itulah yang menyebabkan si ego bisa berhubungan dengan dunia (realitas) luar.
Id adalah bagian yang paling primitif dari psyche (jiwa) manusia, dalam arti id itulah yang hadir pertama kali bersamaan dengan lahirnya manusia sebagai makhluk biologis, yang hidup semata-mata karena merupakan jenis (species) makhluk hidup. Dengan kata lain, id adalah wujud kasar manusia, yakni badannya, yang bekerja seperti halnya mesin (bermekanisme). Justru karena sang badan bermekanisme itulah maka timbul berbagai rangsangan, kebutuhan, dan dorongan naluriah, yang selanjutnya kita sebut sebagai syahwat atau nafsu.
Sungguh menarik ketika Freud menyebutkan bahwa id itu selalu bertarung dengan super ego! Mengapa? Super ego adalah bagian dari ego yang setengah sadar dan menyesuaikan diri dengan patokan-patokan moralitas orangtua atau masyarakat. Karena itulah super ego (ketika dia terbangun dari setengah sadarnya) selalu merintangi dorongan-dorongan id yang bertentangan dengan segala norma yang berlaku di sekeliling si ego. (Bila ternyata id terus beraksi tanpa dirintangi super ego, berarti si super ego yang tidak super itu sedang mengantuk atau tidur).
Sumber teori Freud
Bila kita jeli, apa yang dikemukakan Freud itu sebenarnya bukan tesis orisinal. Freud hanyalah pengemas yang lihai dari ilmu Allah yang kemudian diklaimnya sebagai miliknya. Bahwa manusia sebagai sebuah diri (pribadi) itu terdiri dari unsur badan dengan segala organ dan mekanismenya yang menimbulkan rangsangan dan kebutuhan, dan di dalam badan (otak lahiriah) itu bersarang pikiran, perasaan, dan kehendak, dan ke dalam badan itu pula (melalui pikiran, perasaan, dan kehendak) segala nilai masuk, setiap orang yang pernah sekolah tentu tahu.
Tapi karena kenyataan itu diungkap seorang sarjana bernama Freud, dengan rangkaian teori, istilah-istilah ‘baru’, di-tambah dengan mitos (misalnya tentang tragedi Oedipus) maka pengetahuan dasar itu pun jadi terkesan seperti hidangan mewah.
Pusat atau inti diri yang disebut Freud sebagai ego itu disebut Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, tapi diberi perangkat ‘kesadaran’ yang terdiri dari telinga, mata, dan otak. Bekerjanya telinga, mata, dan otak (secara mekanis) itulah yang disebut Freud sebagai sadar (conscious).
Sebuah hadis Nabi Muhammad menggambarkan sisi negatif manusia (al-insãnu) sebagai mahallul-khathã’i wa nis-yan (‘wadah’ kesalahan dan kelalaian). Dalam bahasa Freud, al-insãn(u) itu adalah sang ego (diri), sedangkan al-khathã dan nis-yan adalah id.
Nabi Yusuf, dalam surat Yusuf ayat 53, menggambarkan id (nafsu) sebagai sesuatu yang bersifat la-ammãratun bi-sû’i (لأمّارة بسوء), amat sangat mendesak ego untuk bertindak buruk. Sang ego baru bisa lepas dari pengaruh id bila dibimbing (oleh super ego) untuk menerima rahmat (ajaran) Allah.
Kata Abu Bakar, “Thûbã li-man kãna ‘aqluhu amïran wa hawãhu asï-ran, wa wailun li-man kãna hawãhu amïran wa ‘aqluhu asïran. (Beruntunglah orang yang akalnya menjadi penguasa sedangkan hawã-nya menjadi tawanan; sebaliknya celakalah orang yang hawã-nya menjadi penguasa sementara akalnya menjadi tawanan). Abu bakar menyebut id sebagai hawã (hawa nafsu; dorongan naluriah) dan super ego sebagai ‘aql (akal).
Coba bandingkan kata-kata Abu Bakar itu dengan ‘terjemahannya’ yang dibuat Freud: “… Only when man has mastered his impulses can he turn his energies into creative, civilizing channels. Which impulses man represses, how severely he represses them, and what methods he uses for this repression will determine his culture and his art forms.” (Hanya pada saat manusia telah menaklukkan dorongan-dorongan – nafsunya, hawã-nya – dia bisa menyalurkan enerjienerjinya pada jalur-jalur kreatif dan berperadaban. Nafsu-nafsu apa yang ditekan, seberapa keras dia menekan, dan metode apa yang digunakan untuk menekan, akan menjadi penentu bagi bentuk kebudayaan dan kesenian yang dihasilkannya).
Tampaknya memang omongan Abu Bakar kalah canggih dibanding ocehan Freud, tapi intinya tetap sama. Dengan demikian, ‘penemuan’ Freud tentang unsur kepribadian yang bernama id, ego, dan super ego itu sebenarnya ketinggalan zaman. Tertinggal entah berapa abad dari Abu Bakar, Nabi Muhammad, Nabi Yusuf, dan para nabi serta para sahabat mereka yang lain. Freud, yang pasti pernah membaca Bibel atau kitab yang lebih tua (mungkin Taurat atau Injil asli, bila masih ada) hanyalah penafsir atau pengurai apa yang pernah mereka terima dari Allah, dengan bahasanya sendiri. Sayangnya, seperti para ilmuwan umumnya, ia mengklaim tafsiran itu sebagai ilmu mereka sendiri.
Namun, sejujurnya saya harus berterimakasih kepada Freud yang telah menyadur ilmu Allah tentang kepribadian dan merumuskannya menjadi id, ego, super ego, sehingga selanjutnya bila saya bicara tentang kepribadian tentu akan terkesan ‘ilmiah’, karena terpaksa membawa-bawa nama Freud.
Teori Freud tentang kesadaran
Selain membahas tentang diri (ego) yang dipecahnya menjadi tiga (ego, id, super ego), Freud juga memusatkan perhatian pada bagian terpenting dari diri manusia sebagai mahkluk budaya, yaitu kesadaran (consciousness). Harap diingat bahwa kesadaran yang dimaksud Freud di sini pada dasarnya adalah otak.
Kesadaran, seperti halnya kepribadian, dibagi Freud menjadi tiga wilayah, yaitu (1) wilayah sadar (conscious), (2) wilayah lupa (preconscious), dan (3) wilayah tak terjangkau (unconscious).
Konsep tentang sadar dalam teori Freud boleh dikatakan sama dengan konsep psikologi secara umum, yaitu (keadaan otak yang) mengetahui perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran, lingkungan, dan sebagainya, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai awake (bangun; siuman) dan aware (tanggap; peduli) itu. Bila diibaratkan komputer, wilayah sadar itu kira-kira sama dengan random access memory (RAM), yaitu memori yang siap menerima (data) apa saja, sejauh dia mampu menampung, dan selagi komputer hidup. Sedangkan wilayah lupa adalah ibarat hard disk yang menyimpan data (atau program) yang jarang digunakan, yang ada kalanya bisa terbuka secara kebetulan atau tak sengaja, misalnya karena salah pencet tombol keyboard atau mouse. Data yang tersimpan di situ bisa saja tentang seorang teman, atau tentang kewajiban yang sekian lama diabaikan.
Adapun wilayah tak terjangkau (oleh kesadaran) alias unconscious atau subconssccious, adalah suatu wilayah yang terletak di luar persepsi (pengetahuan; pemahaman), dan tidak mengirim sensasi (rangsangan) pula untuk dipersepsi. Celakanya, dari wilayah yang satu inilah berdatangan pengaruh-pengaruh atas perlilaku si ego ketika dia sadar (bangun; tidak tidur), dan kadang muncul berupa mimpi ketika si ego tidak sadar (tidur).
Bila dikaitkan dengan komputer, wilayah tak terjangkau ini mungkin sang pengguna komputer itu sendiri, yang tentu tidak dikenal oleh si komputer.
Melalui pembagian kesadaran itulah Freud mengolok-olok wahyu sebagai gejala kejiwaan yang disebut sebagai proyeksi (projection). Seperti kata Max I. Dimont ketika ia bercerita tentang Abraham dan menyorotnya dengan teori psikoanalisis.
“Let us say that an individual is obsessed by a thought, which, beca-use it is painful or forbidden, he does not want to acknowledge as his own. On the other hand, he can’t give it up. He wants the thought, but doesn’t to be its owner. He longs for it uncon-sciously, but wants to reject it on a conscious level. His mind therefore resorts to an unconscious “trick”. He “projects” the thought onto someone else, and then convinces himself that it is the other person who suggested the thought to him or accused him of it. …
(Sebut saja bahwa ada seseorang yang terobsesi oleh suatu pemikiran, yang karena pemikiran itu menyakitkan atau dianggap tabu, dia tidak mau mengakui bahwa pemikiran itu mi-liknya sendiri. Di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan pemikiran itu. Dia menginginkan kehadiran pemikiran itu, tapi tidak mau mengakui sebagai miliknya. Dengan kata lain, alam bawah sadarnya merindukan pemikiran itu, tapi alam sadarnya ingin menolak kehadirannya. Karena itu otaknya meminta bantuan “tipuan” bawah sadar. Lalu dia “memproyeksikan” (menyorotkan) pemikiran itu pada orang lain, kemudian dia meyakinkan diri sendiri bahwa orang lain itulah yang memasukkan pemi-kiran itu kepadanya, atau menuduhnya sebagai pemiliknya. …).
Jadi, apa yang dikatakan Abraham sebagai wahyu, dalam tinjauan psikoanalisis Freud tidak lain hanya sebuah hasil proyeksi yang dilakukan Abraham, yang oleh Dimont disebut sebagai pemilik grand illusion (ilusi besar), karena mengaku bertemu dengan Tuhan (The God “Jehovah”) yang memberinya wahyu.
Teori kesadaran Freud ini, bila kita mengerti, adalah salah satu pembuktian dari kebrengsekan Yahudi yang tu’minûna bi-ba’dhil-kitãbi wa takfurûna bi-ba’dhin (memanfaatkan sebagian dari isi kitab Allah, sambil mencampakkan sebagian yang lainnya, karena tidak mendukung kepentingannya). Ketika bicara tentang struktur diri (ego), Freud mencaplok wahyu. Namun ketika bicara tentang kesadaran (otak), ia mengatakan – secara berbelit-belit dengan mengarang teori proyeksi – bahwa yang disebut wahyu itu pada hakikatnya adalah hasil pemikiran manusia sendiri; yang karena berbenturan dengan status quo maka orang yang bersangkutan terpaksa harus melakukan tipuan dengan menyebut oknum yang diakui sebagai pencipta dan penguasa manusia, Tuhan.
Dengan kata lain, Freud menganggap nabi atau rasul sebagai penipu.
Mengapa, Abraham misalnya, harus melakukan tipuan untuk menyampaikan ilusinya kepada orang lain? Menurut Freud, hal itu dilakukan Abraham karena ia tahu bahwa ilusinya pasti ditentang oleh masyarakat, khususnya tentu para penguasa. Tapi, apakah dengan melakukan tipuan itu lantas Abraham menjadi bebas dari kemarahan orang? Ternyata tidak. Abraham tetap diusir dari Babilonia, sehingga ia harus merantau ke Jazirah Arab. Jelasnya, orang-orang (khususnya penguasa) yang menentang ilusi Abraham ternyata tidak marah pada Tuhan tapi tetap marah pada Abraham. Dengan demikian, siapa sebenarnya yang penipu, Abraham (dan para nabi lain) atau si Freud dan antek-anteknya?
Dengan teori kesadarannya Freud sebenarnya hendak mengajarkan bahwa otak manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir. Dengan kemampuan berpikir itulah manusia bisa hidup lebih baik dari hewan, bisa menciptakan peradaban dan/atau kebudayaan. Selain itu, otak manusia juga punya kemampuan untuk merekam (mengingat) apa yang teralami dan terpikir, tapi rekaman (ingatan) itu kadang tenggelam ke alam lupa, dan hanya bisa muncul secara tidak disengaja.
Dengan otaknya, manusia bisa menciptakan ilmu dan hidup ilmiah. Namun, dalam kenyataan, seperti dikatakan Max I. Dimont (Yahudi Amerika yang agaknya penganut teori Freud), kebanyakan manusia selalu mempercayai konsep-konsep yang tidak ilmiah (unscientific concepts). Tidak peduli konsep-konsep tak ilmiah itu benar atau tidak, dengan itulah manusia membentuk nasib mereka, kata Dimont pula.
“Konsep-konsep tidak ilmiah” itulah yang dikatakan Freud sebagai pengaruh-pengaruh yang muncul dari alam yang tak terjangkau kesadaran (unconscious). Jelasnya, konsep-konsep tersebut muncul dari orang-orang yang mengaku nabi atau rasul, dan disebut sebagai agama. Justru di sinilah, bila para ilmuwan itu memang kritis, terlihat betapa rapuhnya logika Freud itu. Di satu sisi, misalnya, ia mengatakan bahwa unconscious adalah wilayah yang tak terjangkau kesadaran, di luar kemampuan manusia untuk memahami (de-gan otaknya) dan tidak tersentuh oleh pancaindra. Tapi di sisi lain dikatakannya pula bahwa apa yang diklaim oleh para nabi sebagai wahyu itu sebenarnya adalah ciptaan pikiran (otak) mereka sendiri.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Allah dalam Al-Qurãn bahwa konsep Iblis yang suka mengaku dan diakui sebagai penasihat (guru; sarjana) itu adalah ghurûr (tipuan).
Manusia sebagai satu diri
Lewat kajian bahasa maupun psikologi, khsususnya teori Freud, dapat ditegaskan bahwa bicara tentang kepribadian berarti bicara tentang manusia sebagai satu diri, yang dalam bahasa Freud disebut sebagai ego. Dalam bahasa kita, bicara tentang kepribadian adalah bicara tentang ke-aku-an manusia. Di situlah terletak jati diri manusia, alias manusia dalam kenyataan dirinya yang sejati.
Manusia bukanlah makhluk homochrome (berwarna satu). Sebagai aku, bisa jadi ia merupakan “seorang kapiten”, atau “anak gembala”, atau “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”. Bisa jadi juga merupakan homo javanthropus Soloensis (orang Solo 100.000 tahun lalu). Sifatnya bisa jadi homo ludens (mahluk yang suka bermain-main dan bersenang-senang), bisa jadi homo sapiens atau hayawãnu-nãtiq (makhluk berpikir, berlogika), bisa jadi homo homini lupus (menjadi serigala bagi sesamanya), bisa jadi homo unius libri (makhluk yang fanatik pada satu buku), homo socious (makhluk sosial; makhluk berjama’ah), bahkan bisa juga jadi homosex (makhluk yang birahi pada sesama jenis), atau bahkan si aku itu adalah homo sum et nihil humani a me alienum puto (aku adalah manusia dan tidak satupun sifat manusia yang tidak ada padaku).
Segi-segi ke-aku-an
Bicara tentang keakuan atau jati diri manusia, mau tak mau, memang mengharuskan kita melakukan ‘pembedahan’ atas diri manusia itu. Dalam Al-Qurãn maupun Hadits, manusia disebut dengan istilah insãn atau basyar. Dalam kajian kata (ilmu sharaf) insãn adalah kata benda. Kata kerjanya adalah anisa-yanasu atau anusa-yanusu, yaitu bentuk kata kerja yang tidak mempunyai obyek, yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya sama dengan kata sifat. Baik anisa-yanasu maunpun anusa-yanusu keduanya berarti suka berteman, suka bergaul, manis, ramah, cerdas; mengindrai, merasakan, menemukan, memperhatikan, menyadari, dsb. Jadi, insãn adalah makhluk yang mempunyai sifat-sifat atau kualitas-kualitas tersebut.
Sedangkan istilah basyar yang juga kata benda, kata kerjanya – yang juga setara dengan kata sifat dalam bahasa Indonesia – adalah basyara-yabsyiru, yang berarti merasa/menunjukkan keriangan besar, merasa senang, dsb. Itulah pula salah satu sifat yang ada pada manusia.
Jadi ternyata, melalui tinjauan bahasa tersebut, penyebutan manusia tidak ditujukan kepada wujud lahiriah tapi pada sifat atau kualitas.
Begitu pula agaknya tinjauan Hadits. Salah satu sabda Nabi mengatakan bahwa Allah tidak menilai manusia berdasar bentuk lahiriahnya tapi berdasar isi kalbunya. ▲
Orang Inggris menyebut kepribadian dengan istilah personality, berasal dari kata person, yang juga berarti orang (manusia) seorang. Begitu juga orang Arab menyebut kepribadian dengan istilah syahshiyyah, dari kata syahshun, yang berarti orang soerang pula. Ketiga istilah dalam tiga bahasa itu belum menjawab pertanyaan apa itu kepribadian, karena masih bersifat umum dan kabur. Tapi dalam bahasa Indonesia ada istilah lain yang cukup menjawab, walau belum cukup gamblang, yaitu istilah jati diri, yang berarti keadaan diri (sendiri) yang sebenarnya (sejati).
Melalui istilah jati diri kita diajak menukik pada titik yang paling inti dari hakikat seorang manusia.
Di sana kita dapati dua kenyataan tentang seorang manusia. Pertama, dia adalah satu diri yang berbeda dari yang lain (unik). Kedua, dia adalah satu diri yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan seorang atau banyak orang (kelompok) lain. Kenyataan pertama terlihat sisi fisik setiap orang, yang bisa dipastikan tidak ada seorang pun yang sama persis dengan orang lain; lebih-lebih bila dilihat melalui DNA setiap orang yang memang masing-masing bersifat khas. Berdasar kenyataan itu, setiap manusia, orang per orang, memang unik.
Sedangkan kenyataan kedua terlihat melalui perilaku setiap orang, yang sering kali tampak memiliki persamaan atau kesamaan dengan orang lain. Berdasar kenyataan itu, benarlah kata orang bahwa manusia adalah makhluk yang suka meniru.
Lantas, ketika bicara tentang kepribadian, wilayah mana yang hendak kita jelajahi; wilayah fisik atau perilaku?
Hippocrates (400 SM) dan kemudian Galen (150 M) telah berusaha melakukan pembagian kepribadian berdasar humor (cairan) dalam tubuh, dan hasilnya adalah seperti terurai di bawah ini.
Sepanjang perkembangan sains Barat, yang dikatakan berinduk pada filsafat, bisa dipastikan bahwa ilmu filsafatlah yang pertama kali ‘mempermasalahkan’ kepribadian. Tapi ilmu yang jelas mengotak-atik masalah kepribadian secara luas adalah psikologi (ilmu jiwa); dengan catatan bahwa psikologi pada mulanya juga lahir sebagai salah satu cabang ilmu filsafat.
Selanjutnya, bicara tentang kepribadian berarti bicara tentang ma-nusia dalam konteks psikologi. Artinya, psikologilah yang dijadikan alat untuk mengurai habis apa itu kepribadian.
Kepribadian sebagai salah satu obyek kajian psikologi bahkan telah melahirkan cabang psikologi tersendiri, yaitu psikologi kepribadian, yang merupakan salah satu dari psikologi terapan (applied psychology). Artinya, psikologi kepribadian adalah ilmu yang terpakai alias digunakan, bukan sebuah ilmu murni (pure science), yang hanya bersifat teori atau wacana. Tapi untuk apa?
Tujuan penguasaan ilmu
Setiap ilmu dipelajari karena ada tujuan tertentu; demikian juga dengan obyek ilmu itu sendiri.
Psikologi, misalnya, dipelajari antara lain demi tujuan kesehatan dan pendidikan. Selain itu, psikologi juga bisa dimanfaatkan demi kepentingan politik secara umum, untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan; demi kepentingan imperialis, untuk melakukan penjajahan; dan demi kepentingan kapitalis, untuk mengendalikan industri dan perdagangan.
Karena itu, tidak aneh bila cabang psikologi semakin hari menjadi semakin rumit, mengikuti segala arah ‘kemajuan’ hidup manusia, khususnya yang tinggal di perkotaan. Namun yang perlu dicatat di sini adalah kenyataan bahwa ada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang seolah-olah imun (kebal) atau luput dari sorotan ilmu itu sendiri.
Dengan kata lain, ada pihak-pihak yang lincah menghindar dari keharusan logis untuk menjadi obyek. Mereka lebih suka menjadi subyek dari setiap ilmu, sehingga dengan demikian setiap ilmu bisa mereka gunakan sebagai alat untuk menguasai orang atau pihak lain. Sebagai alat untuk membuat diri mereka menjadi serigala atas sesama manusia (homo homini lupus).
Ingatlah pepatah mereka: the man behind the gun, yang menekankan betapa pentingnya senjata namun lebih penting lagi adalah manusia yang memegang senjata itu, dan di atas segalanya, senjata yang terpenting adalah ilmu.
Sejarah membuktikan bahwa eksistensi manusia Barat meluas dan meninggi seiring pertumbuhan dan perkembangan sains mereka. Berkat sains (yang antara lain melahirkan berbagai bentuk senjata), mereka menebar jaring-jaring kekuasaan dan pengaruh dari daratan Eropa ke benua-benua lainnya.
Teori (colongan) Freud
Sigmund Freud, pengagas psikoanalisa, yang teorinya masih berpengaruh luas sampai sekarang.
Dalam pembicaraan tentang kepribadian, pandangan Sigmun Freud (1865-1939) telah mempengaruhi manusia sepanjang abad 20. Pengaruhnya bahkan meluas sampai pada bidang antropologi, pendidikan, kesenian, dan sastra, yang mungkin belum akan tersingkirkan pada abad 21 ini. Mengapa?
Freud, dokter Austria keturunan Yahudi, mengajukan teori (psikoanalisa) yang boleh dikatakan canggih. Sebagian teorinya, terutama tentang libido, telah dibantah banyak orang. Namun ajarannya tentang struktur kepribadian yang terdiri dari unsur id, ego dan super ego masih berpengaruh secara luas. Demikian juga konsepnya tentang kesadaran yang amat sangat terkenal. Teori Freud tentang kepribadian, tentu saja, berpusat pada ego (aku), artinya pada manusia sebagai satu diri. Dengan kata lain, psikologi Freud adalah psikologi yang masih sangat kental bau filsafatnya.
Untuk menegaskan bahwa pada diri manusia itu sebenarnya terdapat sejumlah sifat yang rumit, Freud ‘menyederhanakan’ menjadi tiga bagian tersebut di atas. Ego, menurut Freud, adalah bagian kepribadian manusia yang sadar. Tapi harap dicatat bahwa sadar yang dimaksud Freud ini bukan sadar ilmiah tapi hanya sadar dalam arti hidup sebagai mahkluk biologis. Istilah yang mewakili dalam bahasa Indonesia mungkin bangun, (ter)jaga, siuman (ketiganya dalam bahasa Inggris disebut awake), atau peduli (bahasa Inggrisnya aware). Keadaan sadar yang demikian itulah yang menyebabkan si ego bisa berhubungan dengan dunia (realitas) luar.
Id adalah bagian yang paling primitif dari psyche (jiwa) manusia, dalam arti id itulah yang hadir pertama kali bersamaan dengan lahirnya manusia sebagai makhluk biologis, yang hidup semata-mata karena merupakan jenis (species) makhluk hidup. Dengan kata lain, id adalah wujud kasar manusia, yakni badannya, yang bekerja seperti halnya mesin (bermekanisme). Justru karena sang badan bermekanisme itulah maka timbul berbagai rangsangan, kebutuhan, dan dorongan naluriah, yang selanjutnya kita sebut sebagai syahwat atau nafsu.
Sungguh menarik ketika Freud menyebutkan bahwa id itu selalu bertarung dengan super ego! Mengapa? Super ego adalah bagian dari ego yang setengah sadar dan menyesuaikan diri dengan patokan-patokan moralitas orangtua atau masyarakat. Karena itulah super ego (ketika dia terbangun dari setengah sadarnya) selalu merintangi dorongan-dorongan id yang bertentangan dengan segala norma yang berlaku di sekeliling si ego. (Bila ternyata id terus beraksi tanpa dirintangi super ego, berarti si super ego yang tidak super itu sedang mengantuk atau tidur).
Sumber teori Freud
Bila kita jeli, apa yang dikemukakan Freud itu sebenarnya bukan tesis orisinal. Freud hanyalah pengemas yang lihai dari ilmu Allah yang kemudian diklaimnya sebagai miliknya. Bahwa manusia sebagai sebuah diri (pribadi) itu terdiri dari unsur badan dengan segala organ dan mekanismenya yang menimbulkan rangsangan dan kebutuhan, dan di dalam badan (otak lahiriah) itu bersarang pikiran, perasaan, dan kehendak, dan ke dalam badan itu pula (melalui pikiran, perasaan, dan kehendak) segala nilai masuk, setiap orang yang pernah sekolah tentu tahu.
Tapi karena kenyataan itu diungkap seorang sarjana bernama Freud, dengan rangkaian teori, istilah-istilah ‘baru’, di-tambah dengan mitos (misalnya tentang tragedi Oedipus) maka pengetahuan dasar itu pun jadi terkesan seperti hidangan mewah.
Pusat atau inti diri yang disebut Freud sebagai ego itu disebut Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, tapi diberi perangkat ‘kesadaran’ yang terdiri dari telinga, mata, dan otak. Bekerjanya telinga, mata, dan otak (secara mekanis) itulah yang disebut Freud sebagai sadar (conscious).
Sebuah hadis Nabi Muhammad menggambarkan sisi negatif manusia (al-insãnu) sebagai mahallul-khathã’i wa nis-yan (‘wadah’ kesalahan dan kelalaian). Dalam bahasa Freud, al-insãn(u) itu adalah sang ego (diri), sedangkan al-khathã dan nis-yan adalah id.
Nabi Yusuf, dalam surat Yusuf ayat 53, menggambarkan id (nafsu) sebagai sesuatu yang bersifat la-ammãratun bi-sû’i (لأمّارة بسوء), amat sangat mendesak ego untuk bertindak buruk. Sang ego baru bisa lepas dari pengaruh id bila dibimbing (oleh super ego) untuk menerima rahmat (ajaran) Allah.
Kata Abu Bakar, “Thûbã li-man kãna ‘aqluhu amïran wa hawãhu asï-ran, wa wailun li-man kãna hawãhu amïran wa ‘aqluhu asïran. (Beruntunglah orang yang akalnya menjadi penguasa sedangkan hawã-nya menjadi tawanan; sebaliknya celakalah orang yang hawã-nya menjadi penguasa sementara akalnya menjadi tawanan). Abu bakar menyebut id sebagai hawã (hawa nafsu; dorongan naluriah) dan super ego sebagai ‘aql (akal).
Coba bandingkan kata-kata Abu Bakar itu dengan ‘terjemahannya’ yang dibuat Freud: “… Only when man has mastered his impulses can he turn his energies into creative, civilizing channels. Which impulses man represses, how severely he represses them, and what methods he uses for this repression will determine his culture and his art forms.” (Hanya pada saat manusia telah menaklukkan dorongan-dorongan – nafsunya, hawã-nya – dia bisa menyalurkan enerjienerjinya pada jalur-jalur kreatif dan berperadaban. Nafsu-nafsu apa yang ditekan, seberapa keras dia menekan, dan metode apa yang digunakan untuk menekan, akan menjadi penentu bagi bentuk kebudayaan dan kesenian yang dihasilkannya).
Tampaknya memang omongan Abu Bakar kalah canggih dibanding ocehan Freud, tapi intinya tetap sama. Dengan demikian, ‘penemuan’ Freud tentang unsur kepribadian yang bernama id, ego, dan super ego itu sebenarnya ketinggalan zaman. Tertinggal entah berapa abad dari Abu Bakar, Nabi Muhammad, Nabi Yusuf, dan para nabi serta para sahabat mereka yang lain. Freud, yang pasti pernah membaca Bibel atau kitab yang lebih tua (mungkin Taurat atau Injil asli, bila masih ada) hanyalah penafsir atau pengurai apa yang pernah mereka terima dari Allah, dengan bahasanya sendiri. Sayangnya, seperti para ilmuwan umumnya, ia mengklaim tafsiran itu sebagai ilmu mereka sendiri.
Namun, sejujurnya saya harus berterimakasih kepada Freud yang telah menyadur ilmu Allah tentang kepribadian dan merumuskannya menjadi id, ego, super ego, sehingga selanjutnya bila saya bicara tentang kepribadian tentu akan terkesan ‘ilmiah’, karena terpaksa membawa-bawa nama Freud.
Teori Freud tentang kesadaran
Selain membahas tentang diri (ego) yang dipecahnya menjadi tiga (ego, id, super ego), Freud juga memusatkan perhatian pada bagian terpenting dari diri manusia sebagai mahkluk budaya, yaitu kesadaran (consciousness). Harap diingat bahwa kesadaran yang dimaksud Freud di sini pada dasarnya adalah otak.
Kesadaran, seperti halnya kepribadian, dibagi Freud menjadi tiga wilayah, yaitu (1) wilayah sadar (conscious), (2) wilayah lupa (preconscious), dan (3) wilayah tak terjangkau (unconscious).
Konsep tentang sadar dalam teori Freud boleh dikatakan sama dengan konsep psikologi secara umum, yaitu (keadaan otak yang) mengetahui perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran, lingkungan, dan sebagainya, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai awake (bangun; siuman) dan aware (tanggap; peduli) itu. Bila diibaratkan komputer, wilayah sadar itu kira-kira sama dengan random access memory (RAM), yaitu memori yang siap menerima (data) apa saja, sejauh dia mampu menampung, dan selagi komputer hidup. Sedangkan wilayah lupa adalah ibarat hard disk yang menyimpan data (atau program) yang jarang digunakan, yang ada kalanya bisa terbuka secara kebetulan atau tak sengaja, misalnya karena salah pencet tombol keyboard atau mouse. Data yang tersimpan di situ bisa saja tentang seorang teman, atau tentang kewajiban yang sekian lama diabaikan.
Adapun wilayah tak terjangkau (oleh kesadaran) alias unconscious atau subconssccious, adalah suatu wilayah yang terletak di luar persepsi (pengetahuan; pemahaman), dan tidak mengirim sensasi (rangsangan) pula untuk dipersepsi. Celakanya, dari wilayah yang satu inilah berdatangan pengaruh-pengaruh atas perlilaku si ego ketika dia sadar (bangun; tidak tidur), dan kadang muncul berupa mimpi ketika si ego tidak sadar (tidur).
Bila dikaitkan dengan komputer, wilayah tak terjangkau ini mungkin sang pengguna komputer itu sendiri, yang tentu tidak dikenal oleh si komputer.
Melalui pembagian kesadaran itulah Freud mengolok-olok wahyu sebagai gejala kejiwaan yang disebut sebagai proyeksi (projection). Seperti kata Max I. Dimont ketika ia bercerita tentang Abraham dan menyorotnya dengan teori psikoanalisis.
“Let us say that an individual is obsessed by a thought, which, beca-use it is painful or forbidden, he does not want to acknowledge as his own. On the other hand, he can’t give it up. He wants the thought, but doesn’t to be its owner. He longs for it uncon-sciously, but wants to reject it on a conscious level. His mind therefore resorts to an unconscious “trick”. He “projects” the thought onto someone else, and then convinces himself that it is the other person who suggested the thought to him or accused him of it. …
(Sebut saja bahwa ada seseorang yang terobsesi oleh suatu pemikiran, yang karena pemikiran itu menyakitkan atau dianggap tabu, dia tidak mau mengakui bahwa pemikiran itu mi-liknya sendiri. Di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan pemikiran itu. Dia menginginkan kehadiran pemikiran itu, tapi tidak mau mengakui sebagai miliknya. Dengan kata lain, alam bawah sadarnya merindukan pemikiran itu, tapi alam sadarnya ingin menolak kehadirannya. Karena itu otaknya meminta bantuan “tipuan” bawah sadar. Lalu dia “memproyeksikan” (menyorotkan) pemikiran itu pada orang lain, kemudian dia meyakinkan diri sendiri bahwa orang lain itulah yang memasukkan pemi-kiran itu kepadanya, atau menuduhnya sebagai pemiliknya. …).
Jadi, apa yang dikatakan Abraham sebagai wahyu, dalam tinjauan psikoanalisis Freud tidak lain hanya sebuah hasil proyeksi yang dilakukan Abraham, yang oleh Dimont disebut sebagai pemilik grand illusion (ilusi besar), karena mengaku bertemu dengan Tuhan (The God “Jehovah”) yang memberinya wahyu.
Teori kesadaran Freud ini, bila kita mengerti, adalah salah satu pembuktian dari kebrengsekan Yahudi yang tu’minûna bi-ba’dhil-kitãbi wa takfurûna bi-ba’dhin (memanfaatkan sebagian dari isi kitab Allah, sambil mencampakkan sebagian yang lainnya, karena tidak mendukung kepentingannya). Ketika bicara tentang struktur diri (ego), Freud mencaplok wahyu. Namun ketika bicara tentang kesadaran (otak), ia mengatakan – secara berbelit-belit dengan mengarang teori proyeksi – bahwa yang disebut wahyu itu pada hakikatnya adalah hasil pemikiran manusia sendiri; yang karena berbenturan dengan status quo maka orang yang bersangkutan terpaksa harus melakukan tipuan dengan menyebut oknum yang diakui sebagai pencipta dan penguasa manusia, Tuhan.
Dengan kata lain, Freud menganggap nabi atau rasul sebagai penipu.
Mengapa, Abraham misalnya, harus melakukan tipuan untuk menyampaikan ilusinya kepada orang lain? Menurut Freud, hal itu dilakukan Abraham karena ia tahu bahwa ilusinya pasti ditentang oleh masyarakat, khususnya tentu para penguasa. Tapi, apakah dengan melakukan tipuan itu lantas Abraham menjadi bebas dari kemarahan orang? Ternyata tidak. Abraham tetap diusir dari Babilonia, sehingga ia harus merantau ke Jazirah Arab. Jelasnya, orang-orang (khususnya penguasa) yang menentang ilusi Abraham ternyata tidak marah pada Tuhan tapi tetap marah pada Abraham. Dengan demikian, siapa sebenarnya yang penipu, Abraham (dan para nabi lain) atau si Freud dan antek-anteknya?
Dengan teori kesadarannya Freud sebenarnya hendak mengajarkan bahwa otak manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir. Dengan kemampuan berpikir itulah manusia bisa hidup lebih baik dari hewan, bisa menciptakan peradaban dan/atau kebudayaan. Selain itu, otak manusia juga punya kemampuan untuk merekam (mengingat) apa yang teralami dan terpikir, tapi rekaman (ingatan) itu kadang tenggelam ke alam lupa, dan hanya bisa muncul secara tidak disengaja.
Dengan otaknya, manusia bisa menciptakan ilmu dan hidup ilmiah. Namun, dalam kenyataan, seperti dikatakan Max I. Dimont (Yahudi Amerika yang agaknya penganut teori Freud), kebanyakan manusia selalu mempercayai konsep-konsep yang tidak ilmiah (unscientific concepts). Tidak peduli konsep-konsep tak ilmiah itu benar atau tidak, dengan itulah manusia membentuk nasib mereka, kata Dimont pula.
“Konsep-konsep tidak ilmiah” itulah yang dikatakan Freud sebagai pengaruh-pengaruh yang muncul dari alam yang tak terjangkau kesadaran (unconscious). Jelasnya, konsep-konsep tersebut muncul dari orang-orang yang mengaku nabi atau rasul, dan disebut sebagai agama. Justru di sinilah, bila para ilmuwan itu memang kritis, terlihat betapa rapuhnya logika Freud itu. Di satu sisi, misalnya, ia mengatakan bahwa unconscious adalah wilayah yang tak terjangkau kesadaran, di luar kemampuan manusia untuk memahami (de-gan otaknya) dan tidak tersentuh oleh pancaindra. Tapi di sisi lain dikatakannya pula bahwa apa yang diklaim oleh para nabi sebagai wahyu itu sebenarnya adalah ciptaan pikiran (otak) mereka sendiri.
Dengan demikian, benarlah apa yang dikatakan Allah dalam Al-Qurãn bahwa konsep Iblis yang suka mengaku dan diakui sebagai penasihat (guru; sarjana) itu adalah ghurûr (tipuan).
Manusia sebagai satu diri
Lewat kajian bahasa maupun psikologi, khsususnya teori Freud, dapat ditegaskan bahwa bicara tentang kepribadian berarti bicara tentang manusia sebagai satu diri, yang dalam bahasa Freud disebut sebagai ego. Dalam bahasa kita, bicara tentang kepribadian adalah bicara tentang ke-aku-an manusia. Di situlah terletak jati diri manusia, alias manusia dalam kenyataan dirinya yang sejati.
Manusia bukanlah makhluk homochrome (berwarna satu). Sebagai aku, bisa jadi ia merupakan “seorang kapiten”, atau “anak gembala”, atau “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”. Bisa jadi juga merupakan homo javanthropus Soloensis (orang Solo 100.000 tahun lalu). Sifatnya bisa jadi homo ludens (mahluk yang suka bermain-main dan bersenang-senang), bisa jadi homo sapiens atau hayawãnu-nãtiq (makhluk berpikir, berlogika), bisa jadi homo homini lupus (menjadi serigala bagi sesamanya), bisa jadi homo unius libri (makhluk yang fanatik pada satu buku), homo socious (makhluk sosial; makhluk berjama’ah), bahkan bisa juga jadi homosex (makhluk yang birahi pada sesama jenis), atau bahkan si aku itu adalah homo sum et nihil humani a me alienum puto (aku adalah manusia dan tidak satupun sifat manusia yang tidak ada padaku).
Segi-segi ke-aku-an
Bicara tentang keakuan atau jati diri manusia, mau tak mau, memang mengharuskan kita melakukan ‘pembedahan’ atas diri manusia itu. Dalam Al-Qurãn maupun Hadits, manusia disebut dengan istilah insãn atau basyar. Dalam kajian kata (ilmu sharaf) insãn adalah kata benda. Kata kerjanya adalah anisa-yanasu atau anusa-yanusu, yaitu bentuk kata kerja yang tidak mempunyai obyek, yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya sama dengan kata sifat. Baik anisa-yanasu maunpun anusa-yanusu keduanya berarti suka berteman, suka bergaul, manis, ramah, cerdas; mengindrai, merasakan, menemukan, memperhatikan, menyadari, dsb. Jadi, insãn adalah makhluk yang mempunyai sifat-sifat atau kualitas-kualitas tersebut.
Sedangkan istilah basyar yang juga kata benda, kata kerjanya – yang juga setara dengan kata sifat dalam bahasa Indonesia – adalah basyara-yabsyiru, yang berarti merasa/menunjukkan keriangan besar, merasa senang, dsb. Itulah pula salah satu sifat yang ada pada manusia.
Jadi ternyata, melalui tinjauan bahasa tersebut, penyebutan manusia tidak ditujukan kepada wujud lahiriah tapi pada sifat atau kualitas.
Begitu pula agaknya tinjauan Hadits. Salah satu sabda Nabi mengatakan bahwa Allah tidak menilai manusia berdasar bentuk lahiriahnya tapi berdasar isi kalbunya. ▲
0 komentar:
Posting Komentar