Kenapa sih begini, kenapa tidak begitu
saja…!??"
Suatu hari seekor ikan di lautan berenang
ke tepian pantai. Ikan yang telah malang melintang di dunia laut. (Kucoba terka
umurnya, sekitar 10 tahun).
Berenang tak tentu arah dan tak tahu sudah
berada dimana. Sehingga ia memutuskan untuk mengikuti perahu nelayan yang akan
pulang menuju pantai.
Dalam hatinya ikan berkata, "saatnya
tiba menuju pantai dan sebuah tempat yang kurindukan sejak dahulu
`daratan'."
Ikan begitu excited menuju daratan. Tak
sedetikpun pandangannya lepas dari mengikuti arah perahu nelayan. Semakin lama
semakin mendekat.
"Pantai, daratan, ah indahnya, aku
akan berjalan di tepian pantai Menghilangkan bosan berada di lautan berenang
tanpa arah". Ikan mulai mendekat. Di pantai itu air makin dangkal. Ikan
telah mengeluh selama 10 tahun kenapa ia berada di laut tidak di darat saja
agar bisa berjalan-jalan. Tak dihiraukannya juga pantai
yang hanya berisi sapuan air laut.
Sekuat tenaga berenang hingga ikan terjebak
dan mati kelelahan. Di penghujung ajalnya ia tersadar bahwa ia terlalu banyak
mengeluh. Ikan telah sadar bahwa semua telah di takdirkan untuknya berada di
lautan, berenang bukan berjalan. Ikan mati tanpa manfaat. Memperjuangkan sebuah
keluhan tak berdasar, "Kenapa sih begini, kenapa tidak begitu
saja…!??".
Kawan, pernahkah menghitung intensitas
mengeluh kita setiap hari.
Membuatnya dalam sebuah buku register.
Dalam buku register tersebut terdapat menu seperti: topic mengeluh, tanggal,
tahun, jam, bahkan kepada siapa kita mengeluh. Semuanya tentang keluhan
benar-benar tertulis didalamnya. "Fiyuhhhh….”, pasti kita tak akan sanggup
membacanya kembali setelah menuliskannya karena terlalu banyaknya intensitas
mengeluh yang dilakukan.
Mengeluh kawan adalah sebuah kata sederhana
yang dapat timbul akibat
dari: ketika masih kecil dia merasa
tertolak, merasa jelek, merasa tidak berharga, merasa disingkirkan, sehingga
ada keinginan sangat mendalam seakan tidak dapat terpuaskan buat diterima,
ingin berharga, ingin disayang. Buat
mendapatkan kembali suatu yang hilang tersebut, dia harus menjelekkan,
menghina, dan mengkritik habis orang, system di sekitarnya agar dirinya tampak
lebih berharga, lebih patut diterima, lebih disayang.
Lalu apa akibat dari mengeluh?.
Kawan, satu hal yang pasti tentu, mengeluh
amat dibenci orang sekitarnya. Tetapi mungkin kalau si pengeluh berada dalam
sebuah kumpulan pengeluh. Maksudnya yang dikeluhkan topiknya sama antara si
pengeluh satu, pengeluh dua, pengeluh tiga, he he he banyak juga ya
pengeluhnya.
Yang pasti kawan, tak ada yang suka saat
mendengar sebuah keluhan.
Bagaimana solusi untuk mengurangi
intensitas mengeluh kita?
Begini kawan, sepertinya harus menuliskan
sebuah referensi ilmiah dari seorang psikolog yang telah berpengalaman. Menurut
Leila Ch Budiman (psikolog)mengatakan bagaimana mengurangi intensitas mengeluh
kita,
yaitu:
1. Ganti topik percakapan.
Kalau
kita sudah mulai kumat lagi dengan berbagai keluhan, gantilah topik
pembicaraan. Misalnya, "Pegawai baru tuh sok ambil hati, cengar-cengir
melulu, enggak kenal juga sok tahu." Alihkan saja jadi, "Sekarang
kita mau ke mana nih?"
2. Beri arah yang tepat.
Kalau
kita mulai mengeluh tentang kantor, toko swalayan, atau kos, bilang saja,
"Salah alamat nih, coba deh complain ke direktunya, jangan sama gue."
3. Katakan batas.
Complainerholic
ini selalu mencari sampai batas maksimal daya tahan perut Anda. Katakan
sebelumnya ada batas pembicaraan, kalau terus mengeluh aku emoh. Jangan sungkan
untuk mengatakan "Sudah ah, bosan."
4. Buat gurauan.
Yang
diinginkan para pengeluh kronis ini adalah agar para pendengarnya bersimpati
dan ikut pandangannya. Padahal, jika sikap ini terus didapatnya, maka dia akan
tambah menggebu-gebu keluhannya. Buatlah gurauan agar dia mengerti pandangannya
itu tidak simpatik. Misalnya kalau dia mulai mengeluh lagi, bisa dikomentari,
"Wah mulai mendung lagi nih. Ganti arah deh."
5. Gunakan keahlian.
Tukang
keluh ini bisa digunakan jadi tukang kritik di kantor, pemerintahan, atau
perusahaan bagian kontrol kualitas. Saran-sarannya dapat dipertimbangkan, asal
jangan bulat-bulat percaya, nanti pegawai pada bubar, atau sang direktur tambah
stres.
6. Perluas wawasan.
Pengeluh
kronis sangat self centered, terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Perlu
diperluas wawasannya dengan meminta agar dia membaca berbagai koran dan
majalah. Jadi, kita dapat melihat bahwa banyak derita dunia jauh lebih hebat
ketimbang urusan WC kosnya dan soal ajakan ke toko swalayan.
7. Suruh mengaca.
Kalau
kita sedang sewot, dapat perlihatkan kaca agar kita dapat melihat wajahnya yang
sangar di kaca, boleh juga divideo kalau ada.
8. Pergi.
Kawan,
tentu saja kita tidak mau nasib kisah ikan yang selalu mengeluh karena di
berikan kehidupan di laut. Lalu mengeluh dan ingin berada
di daratan berjalan hingga akhirnya mati. Padahal boleh jadi, kawan si ikan
akan banyak manfaatnya bagi sekitarnya apabila selalu mencari manfaat dari
hidup yang telah digariskan padanya yang telah berada di laut.
So, bukankan bersyukur, sabar dan berdoa
sebagai penolong kita. Dan beruntunglah orang yang mampu mengendalikan nafsu
amarahnya yang di keluarkan lewat keluahan.
Mulai
sekarang! Kurangi yuk intensitas mengeluh kita. Agar hidup penuh berkah dan
makna.
Amin……..
0 komentar:
Posting Komentar