A. Perbandingan Sistem Pendidikan Pesantren, Surau, Madrasah, Meunasah
1. Ciri Khusus Lembaga Pendidikan Islam Tradisional : Pesantren ( Salaf)
Sistem pendidikan pesantren yang sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan pada umumnya. Berikut ini dipaparkan beberapa ciri khusus yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan yang lain. Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. kiai sangat memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari.
2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menetang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar di wujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak di dapat disana. Bahkan tidak sedikit santri yang hidupnya terlalu sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.
4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasak pun sendiri.
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan, selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6. Disiplin sangat di anjurkan di pesantren. Pagi-pagi antara pukul 04.30 atau 05.00, kiai membangunkan para santri untuk diajak shalat subuh berjamaah. Meskipun tidak semua pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menetukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan meberikan pengaruh besar terhadap para santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang di peroleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh kebiasaan puasa sunat, zikir, i’tikaf, shalat tahajud di malam hari, dan latihan-latihan spiritual lainya.
8. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam salah satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang di berikan kepada santri-santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walaupun kadang kala di tulis, maka catatannya hanya ada pada kiai.
2. Sistem Pendidikan Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren, ia lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah manba’ul ulum kerajaan surakarta tahun 1905 dan sekolah adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909.
Madrasah memiliki metode pengjaran seperti hafalan, latihan dan praktek. Ini kelanjutan dari masa Rasulullah SAW. Terutama ketika beliau memberikan pelajaran Al-Qur’an, pada masa perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan metode talqin, dimana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hfalan guru lalu menjelaskan maksudnya.metode ini oleh maksidi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu berusaha memahami arti danmksud pelajaran yang diberikan. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan madrasah dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah.
Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diformulasikan untuk meningkatkan kualitas bidang sains dan matematika. Menurut Husni Rahim dengan merujuk pada hasil laporan yang berjudul “bekerja bersama madrasah membangun model pendidikan di Indonesia” menyebutkan sekurang-kurangnya ada bentuk keberhasilan program masrasah model tersebut, yaitu:
a. Terjadinya peningkatan kualitas guru melalui berbagai program pendidikan (seperti S2 dan S3) dan program pelatihan.
b. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan madrasah yang tampak dengan kecilnya kesenjangan prestasi siswa madrasah dengan sekolah umum.
c. Meningkatnya animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah seiring dengan meningkatnya daya tampung madrasah.
d. Mulai terbentuknya networking antara madrasah dengan berbagai perguruan tinggi, khususnya dengan STAIN, IAIN, dan UIN dan perguruan tinggi agama lainya.
Madrasah Terpadu adalah sebuah konsep pengembangan madrasah yang mencoba mensinergikan berbagai potensi kekuatan MI, MTs dan MA yan berada dalam satu lokasi untuk membantu, saling mengisi kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan madrasah.
3. Lembaga Pendidikan Islam Meunasah
Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampong, desa). Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan diskusi dan membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Disamping itu, ia juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh, Meunasah juga menjadi tempat sholat bagi masyarakat dalam satu ‘gampong’.
Dalam perkembangan selanjutnya meunasah bukan saja sebagai tempat ibadah saja , melainkan juga tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga tempat transaksi jual beli barang tak bergerak, kumudian juga sebagai tempat mengnap para musafir, tempat membaca hikayat dan tempat mendamaikan jika ada warga kampong yang bertikai. Bahkan menurut Gazalba meunasah juga digunakan sebagai tempat berzikir, berdoa dan tempat praktik tarekat yang kemudian disebut suluk.
Meunasah sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga pendidikan terendah dan meunsah dipimpin oleh Tengku Meunasah, sedangkan untuk anak murid perempuan diajar oleh teungku perempuan yang disebut teungku inong.
4. Lembaga Pendidikan Islam Surau
Sebagimana telah diketahui bahwa di minangkabau lembaga pendidikan pertama adalah surau. Surau ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang ada di Indonesia. Kendatipun mendekati pesantren yang ada di jawa. Menurut Azra, kalaupun ada persamaan tidak lain karena terdapatnya beberapa karakeristik yang sama atau mirip dengan pesantren. Untuk memberikan ciri-ciri khusus surau dapat di ketahui beberapa bentuk berikut ini:
a. Istilah Guru
Disurau minangkabau tidak dikenal istilah kyai. Akan tetapi, kiai itu disebut syekh (yang telah dipakai dakam penyebutan awal). Syek ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang kuat. Lingkungan sosiokultural dan keagamaan masyarakat telah menempatkan seorang syekh sebagai tugas utama pda surau dan mempengaruhi eksistensi surau itu sedikit.
b. Istilah Murid
Murid yang menuntut ilmu di surau disebut orang siak.
Hal ini ditujukan untuk mengikuti pelajara disurau. Orang siak tidak dikenai pengutan atau biaya apapun seperti uang sekolah, asrama atau uang makan. Karena itu banyak orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh kalaupun ada diberikan kepada keluarga dengan ikhlas.
Hal ini ditujukan untuk mengikuti pelajara disurau. Orang siak tidak dikenai pengutan atau biaya apapun seperti uang sekolah, asrama atau uang makan. Karena itu banyak orang siak jarang sekali memberikan uang kepada syekh kalaupun ada diberikan kepada keluarga dengan ikhlas.
c. Metode dan kurikulum surau
Metode dan kurikulum di surau dalam pencapaian tujuan hasil belajar mengajar dapat dikategorikan dengan dua sistem yaitu Pertama, metode sorogan yakni murid secara persorangan dengan guru atau yang juga dikenal dengan metode individual. Kedua, metode halaqoh, dimana seorang guru atau syekh dalam memberikan pelajaran dikelilingi murid-muridnya atau yang juga dikenal dengan metode kolektif. Namun pada sisi lain, dipakai metode ceramah khususnya dalam mengajar akhlak.
Sedangkan dalam bidang kurikulum, pada masa permulaan masuknya Islam sampai setidak-tidaknya pada tahun 1900-an yang meliputi pelajaran agama saja, sedangkan pelajaran umum belum diajarkan . Masa perubahan, system pendidikan surau tahun 1908-1990 maka berubah pula kurikulum pendidikan surau terutama pada pengajian kitab yang mengalami penambahan mencapai dua belas kitab.
B. Analisis Perbandingan antara sistem pendidikan pesantren, Surau, Madrasah, dan Meunasah
Sistem pendidikan islam di pesantren, surau, madrasah dan meunasah, setelah dipaparkan dan dijelaskan dapatlah diambil suatu analisa. Jika ditinjau dari segi institusi terdapat titik perbedaan satu samalain. Namun apabila ditilik dari segi unsur substansinya atau kandungannya dari sistem-sistem yang ada pada lembaga pendidikan islam tersebut terdapat keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain yakni dalam hal membimbing dan mendidik anak.
Dalam sistem pendidikan pesantren, titik tekannya adalah membimbing dan mendidik anak menuju suatu kemandirian dengan pola hidup yang sederhana sekali.
Sedang pada sistem pendidikan surau, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak supaya berjiwa sosial. Untuk melaksanakan tugas hidup dalam masyarakat dan lingkungannya.
Kalau sistem pendidikan madrasah lebih bersifat integralistik dalam arti anak dibimbing dan dididik berbagai displin keilmuan baik ilmu agama maupun sains sebagai pengembangan wawasan pengetahuan.
Adapun sistem pendidikan meunasah titik tekannya pada bimbingan anak untuk punya potensi dasar sebagai langkah awal pendidikan dasar anak.
C. Tantangan pesantren dalam menghadapi perkembangan dan perubahan zaman
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia saat ini. Lembaga ini telah ada berkembang khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platforn” penyebaran dan sosialisasi Islam. Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren menyatakan bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Secara paedagogis pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang bertujuan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari
Dalam dinamika perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilai-nilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial belanda, namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu tantangn yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern.
Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat adaptatif menerima dinamika kehidupan.
Konsistensi pesantren meletakkan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu mengikuti ritme perkembangan zaman ini terlihat ketika pada tahun 1958/1959, pesantren mengadakan pembaharuan dengan mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah Wajib Belajar merupakan upaya mensukseskan wajib belajar di lingkungan pondok pesantren dan umat Islam. Bahkan sejak dasawarsa 1970-an banyak pesantren memberikan pembekalan dan keterampilan ekonomi bagi santrinya, serta terlibat dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat di lingkungannya
Realitas di atas menunjukkan bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, bahkan ada kecendrungan menunjukkan trend, di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan diantaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, teknik dan sebagainya
Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami fluktuasi perubahan, pada dataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai :
1. Lembaga pendidikan yang melakukan transfer dan transformasi ilmu-ilmu agama (tafaqquh fial-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values).
2. Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control).
3. Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Relevan dengan peran pesantren pada zamannya, Mastuhu, seorang guru besar pendidikan Islam membagi fungsi pesantren menjadi tiga; sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga penyiaran agama.
Berangkat dari pengalaman sosiologis itu, pesantren meneguhkan dirinya untuk tetap melakukan akomodasi dan penyesuaian dalam menghadapi arus modernisasi. Tetapi semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren. Hal ini relevan dengan sebuah diktum yang berbunyi : “Al-Mufadhah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Jadid al-Ashlah”. (Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yakni:
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTTs, MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak dan Pesantren Syafi’iyyah Jakarta dan Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Matholi’ul Falah) dan Darul Rahman Jakarta.
3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren Salfiyah Langitan tuban, Lirboyo Kediri dan pesantren Tegalrejo Magelang.
4. Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim).
5. Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.
Kemerabakan pendidikan pesantren tipe ke-5 (pesantren yang didalamnya ada Mahasiswa) yang muncul sejak dekade 80-an ini menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. Hal ini bukan saja karena usia kelahirannya yang masih relatif muda, akan tetapi manajemen atau pengelolaan pesantren mahasiswa memiliki spesifikasi tersendiri. Berbeda dengan pesantren pada umumnya yang rata-rata menyelenggarakan pendidikan keagamaan untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah saja.
Di tengah dinamika sistem kehidupan dunia yang mulai meninggalkan nilai-nilai moral dan pranata sosial, tampak jelas geliat lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren mahasiswa menyiapkan peserta didiknya menjadi manusia yang tidak saja memiliki kompetensi keilmuan dan life skill yang memadahi, namun juga menjunjung tinggi aspek moral sebagai landasan berpijak. Pesantren yang membina para Mahasiswa adalah tempat dimana calon-calon pengemban amanah negara tumbuh dan belajar membekali diri dengan menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual untuk menyongsong hiruk-pikuk masa depan. Kekuatan mahasiswa berbasis pesantren tidak diragukan lagi sebagai bagian integral dari kelompok agent of change diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pencerahan masyarakat dengan memperhatikan aspek normatif. Apalagi tantangan ke depan jauh lebih berat lagi. Globalisasi yang sering diterjemahkan “mendunia”, selain menghadirkan peluang “positif” untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju, juga dapat menghadirkan peluang “negatif” sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dalam perspektif pendidikan Mastuhu bahkan melontarkan sebuah pertanyaan; mampukah kita menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan yang “mampu pilih” tanpa kehilangan peluang dan jati dirinya? Pertanyaan ini tidak cukup dianggap sebagai sebuah tantangan, akan tetapi yang sangat dibutuhkan tentunya adalah jawaban nyata. Wallahua’lam.
0 komentar:
Posting Komentar