Setiap Orang Butuh Bimbingan
Di zaman mudanya, konon Ronggowarsito yang punya nama asli Bagus Burham itu dikenal seorang anak muda dari kelas sosial atas yang nakalnya minta ampun. Karena nakal itulah sang ayah mengirim Ronggo didampingi seorang emban Ki Tanujoyo ke seorang tokoh masyarakat berpengaruh pada zaman itu, yaitu Kyai Imam Besari, di daerah Tegalsari Ponorogo Jawa Timur untuk berguru. Setelah beberapa bulan di situ, ternyata Ronggowarsito tidak banyak berubah bahkan uang 500 real untuk modal belajar dan dua kudanya dijual untuk judi.
Ki Tanujoyo dinilai terlalu lemah oleh Kyai Imam Besari yang selalu meng-iya-kan keinginan Ronggowarsito. Akhirnya mereka secara diam-diam meninggalkan Tegalsari menuju tempat yang jauh. Mendengar berita ini ayah Ronggowarsito memohon agar Kyai Imam Besar ikut membantu mencari dimana Ronggowarsito berada. Sampai akhirnya ditemukan dan dibawa lagi ke Tegalsari, saat itulah Kyai Imam Besar konon marah besar kepada Ronggo yang punya tabiat tidak baik di samping prestasi akademiknya jatuh.
Setelah dimarahi-langsung oleh Sang Kyai, Ronggowarsito mulai berubah bahkan konon sampai membuat banyak orang kagum atas sedemikian dahsyat perkembangan intelektual / prestasi akademik yang dicapai. Itulah bagian awal perjalanan Ronggowarsito menjadi seorang pujangga, pejabat keraton, intelektual, dan bahkan dalam sejarahnya banyak murid-murid Ronggowarsito yang datang dari luar negeri yang bisa disebut nama-namanya antara lain: C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing atau Jansen dan lain-lain.
Ada kemungkinan besar sekali bahwa dalam praktek hidup, proses yang terjadi tidaklah se-otomatik seperti yang tertulis di dalam naskah di mana ada orang yang langsung berubah setelah dimarahi atau ditegur orang lain. Dalam kenyataan, proses belajar dan berubah ini ibaratnya proses tarik-ulur tambang kesadaran yang berkali-kali. Sudah pasti tidak semua orang punya cita-cita atau perjalanan hidup seperti Ronggowarsito atau Soekarno yang berguru pada Cokroaminoto atau tokoh-tokoh sekarang yang dulunya adalah murid khusus M. Natsir, namun kalau tradisi ini malah bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan diri kita, mengapa tidak dilakukan saja? Apakah kebutuhan untuk berguru terhadap pembimbing pribadi ini tidak bisa dipenuhi dari pendidikan formal yang sudah ada? Pada bagian tertentu jelas sudah bisa dipenuhi tetapi hal mendasar yang mesti kita sadari tentang pendidikan formal / non-formal adalah sistemnya yang sudah sejak awal dirancang untuk kebutuhan orang banyak (generic) dan sudah dipatok harus memenuhi kebenaran-metodelogis tertentu yang sudah dilegalkan. Di sisi lain meskipun kita sebagai manusia memiliki kesamaan tetapi secara pribadi kita memiliki keunikan tersendiri yang membutuhkan model sentuhan yang berbeda.
Manfaat Belajar dari Pembimbing Pribadi
Mengapa kita membutuhkan pembimbing pribadi ? ada beberapa alasan yang dapat kita lihat bersama:
a. Belajar dari kesalahan masa lalu
Satu dari sekian alasan mengapa kita butuh pembimbing pribadi adalah bahwa pengalaman dan wawasan mereka, merupakan pelajaran amat bernilai, dalam mengantisipasi terulangnya kesalahan yang mungkin akan kita lakukan, jika kita tidak belajar dari kesalahan atau kegagalan mereka. Namun dalam praktek hidup sehari-hari menunjukkan sebuah kebiasaan bahwa amat jarang orang mau membagikan sesuatu yang berharga bagi dirinya, apalagi jika hanya sekedar "kenal" dan "tahu sama tahu" walaupun orang itu secara struktural menjadi atasan kita dan setiap hari bertemu.
Dalam pekerjaan (di kantor) sehari-hari, ada fakta umum yang mudah kita temukan bahwa sebanyak apapun pengetahuan kita tentang pekerjaan tertentu, namun ketika sampai pada pelaksanaannya, tetap saja ada hal-hal tertentu yang belum kita ketahui. Sebaliknya, sesederhana apapun pekerjaan yang kita lakukan, tetapi jika dikerjakan dengan sepenuh hati dan dengan segenap kreativitas demi mencapai hasil yang terbaik, maka kita seringkali menemukan pengetahuan dan pemahaman baru (insight and understanding, knowledge and awareness).
Kenyataan demikian mengkonfirmasi pernyataan Bruce Lee bahwa hidup ini adalah sebuah sekolah. Kita perlu selalu berada dalam keadaan belajar, karena sekolah kehidupan terlebih dahulu memberikan ujian-ujian, baru kemudian materi pelajarannya. Oleh karena itu, "sharing knowledge", saling berbagi pengalaman satu orang dengan yang lain, akan memperkaya diri kita dengan berbagai materi dan pengalaman hidup orang lain sehingga kita bisa belajar mengantisipasi kesalahan dan kegagalan yang mungkin bisa terjadi dalam proses belajar menunju kemajuan.
b. Merobohkan tembok mental dan persepsi diri yang keliru
Setiap orang cenderung pernah memiliki mispersepsi terhadap diri sendiri (misperception about self). Perasaan tidak mampu, tidak sanggup atau tidak bisa, belum tentu benar-benar disebabkan tiadanya kemampuan actual / kemampuan riil. Persepsi negative yang membuat kita ragu pada diri sendiri, tanpa disadari menjadi sebuah tembok, yang membatasi kemampuan, kesempatan dan kemajuan kita sendiri. Mahatma Gandhi mengatakan, orang tidak akan bisa mengalahkan tantangan di luar dirinya, sebelum mengalahkan tantangan (merobohkan tembok mental) di dalam dirinya.
Dalam seni kehidupan, faktor mental, fisik dan ketrampilan (skill) - ketiganya memiliki pengaruh yang signifikan, karena kalau yang satu terganggu maka yang lain biasanya ikut terganggu. Pernyataan Henry Ford yang terkenal "Baik anda berpikir bisa dan tidak bisa, keduanya benar." Berpikir tidak bisa akan membuat kita benar-benar tidak bisa (tidak mampu) meskipun pada hakekatnya kita punya kemampuan untuk bisa. Pengalaman Greg Phillips yang menggeluti bidang SDM juga berkesimpulan senada bahwa awal kemampuan seseorang meraih prestasi itu adalah kekuatan mental yang positif di mana seseorang meyakini kemampuannya lebih besar dibanding tantangan hidup yang dihadapi. Persepsi keliru terhadap diri sendiri, yang menghalangi pertumbuhan dan keberhasilan diri, membuat peran guru pembimbing menjadi amat berarti bagi kita.
Jim Rohn dari pengalamannya menggeluti bidang SDM menyimpulkan bahwa "man not lack of capacity but lack of teaching". Banyak hal yang semula kita simpulkan tidak bisa tetapi karena kita diajari oleh orang lain yang lebih dahulu menguasai dan menggeluti masalah itu, akhirnya kita mampu menjalaninya dengan baik. Kita sudah melihat kendala yang dialami pembimbing dan belajar dari kesalahan dan kebangkitan mereka -hingga dalam diri kita bisa tumbuh keyakinan, bahwa kita sendiri sesungguhnya mampu. Dan keyakinan ini lah yang akhirnya membuat kita benar-benar mencapai keberhasilan.
c. Meneguhkan keyakinan diri
Dalam praktek hidup banyak sekali yang membuktikan bahwa semua yang diciptakan Tuhan di dalam diri kita tidak main-main, alias sebuah materi yang kalau disentuh dengan pemberdayaan akan berguna bagi kita, termasuk misalnya saja rasa malu atau rasa takut. Padahal, keduanya kalau dibiarkan jelas bisa menghambat keinginan kita untuk maju. Tetapi kalau diberdayakan (baca: diolah menjadi energi positif), rasa malu bisa menjadi semacam pil penguat stamina mempertahankan komitmen pada usaha meraih keinginan.
Kebutuhan kita terhadap guru pembimbing diperlukan untuk membuat kita memahami diri sendiri (emosi dan persepsi) dan mengendalikan diri - atas dasar pemahaman yang lebih dalam terhadap diri sendiri. Sebab, kita seringkali masih perlu diingatkan bahwa emosi dan persepsi yang tidak tepat, dapat membuat kita bereaksi secara tidak tepat dan akhirnya menghambat kita melakukan tindakan yang positif, tepat dan sehat. Kita sering ragu dan takut melakukan sesuatu, hanya karena dikuasai ketakutan dan keraguan. Sebaliknya, ada pula yang tidak berpikir dalam dan panjang - tanpa pertimbangan dan emosional sehingga dapat melakukan tindakan nekat atau berbahaya. Untuk itu, keberadaan guru pembimbing menjadi sangat penting. Pepatah mengatakan: manusia sebenarnya tidak membutuhkan pengetahuan sebanyak kebutuhannya terhadap terhadap bimbingan dan peringatan / arahan.
Bagaimana Proses Belajar yang Efektif?
Siapa saja yang bisa kita jadikan guru pembimbing? Sesungguhnya, semua orang yang menurut kita memiliki nilai diri yang berkualitas dan pengalaman yang kompleks (baik pengalaman sukses maupun gagal), atau mereka yang terlebih dahulu berprestasi, dapat menjadi pembimbing kita. Sayangnya, keberadaan mereka di sekeliling kita pun tidak menjamin keberhasilan kita bertumbuh dan berkembang. Hal ini bukan disebabkan ketidakmauan sang pembimbing, namun bisa disebabkan ketidaktahuan diri sendiri akan apa yang benar-benar kita perlu pelajari dalam hidup ini. Untuk memahami apa yang menjadi kebutuhan belajar kita, ada beberapa cara yang bisa dilakukan:
1. Mempelajari nilai dan prinsip utama yang dituntut oleh profesi dan pekerjaan
Kita harus memahami nilai dan prinsip kerja yang diperuntukkan bagi kita, sesuai bidang kerja dan jabatan yang kita emban saat ini. Meminjam istilah Gardon Dryden & Dr. Jeannette Vos (Learning Revolution: 1999) isu besar itu dapat pula kita artikan dengan "prinsip utama" yang mengatur suatu pekerjaan. Prinsip dan nilai tersebut akan berbeda antara satu pekerjaan / peran dengan yang lainnya, dan berbeda industri - akan berbeda pula nilai serta prinsipnya. Oleh sebab itu, belajarlah dari pembimbing yang dapat membuat kita bercermin dan menemukan, apa yang masih harus kita lengkapi dan kembangkan, atau bahkan diubah - sesuai dengan tuntutan situasi kondisi kerja saat itu. Dari pembimbing, kita pun belajar bagaimana menghadapi masalah-masalah yang secara spesifik cenderung muncul dalam proses kerja sehari-hari. Kita harus mempelajari, prinsip dan nilai apakah yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan, sehingga kita bisa survive dan sukses dalam bekerja.
2. Menetapkan batasan (setting boundaries and priorities)
Menentukan batasan-batasan yang harus kita ketahui dan pelajari, baik secara konseptual maupun praktek, agar kita dapat tahu apa yang diperlukan untuk mampu beradaptasi terhadap tuntutan pekerjaan (memfokuskan diri pada prioritas utama di dalam ruang lingkup pekerjaan, sehingga apa yang kita pelajari dan lakukan, lebih pasti, jelas dan relevan - bermanfaat bagi prestasi dan karir)
3. Menentukan siapa pembimbing yang tepat
Menentukan orang-orang tertentu yang menurut kita bisa memberikan informasi akurat berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya (pembimbing pribadi). Ibarat dalam perang, mendapatkan informasi dari sumber terpercaya diakui oleh Sun Tzu sebagai aset yang menentukan keberhasilan. Setelah itu, berusahalah menemukan dan menggunakan cara belajar yang paling sesuai dengan karakteristik sang guru pembimbing. Merujuk cara Einstein atau Dale Carnegie, bahwa sebagian dari prinsip utama berguru itu sesungguhnya dilakukan dengan memunculkan sebanyak mungkin tanda tanya di dalam diri murid - untuk kemudian sang murid lah yang harus mencari jawabannya sendiri. Atau, mengajukan pertanyaan dengan cara yang dikehendaki oleh guru dan lebih banyak menggunakan telinga untuk mendengarkan, karena mendengarkan adalah cara yang paling efektif untuk menarik perhatian sang guru.
4. Belajar sendiri - Learning by doing
Mengolah dan menjalankan sendiri - bukan menjiplak atau mengikuti secara mentah-mentah. Mengolah dan menjalankan sendiri setiap prosesnya, adalah dua faktor yang menurut pendapat Gib Atkin, membedakan knower dengan learner. Knower berarti, hanya sebatas tahu saja dan pengetahuan itu pun dipamahami sebagai sebuah konsep. Namun, learner adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan dan penggerak untuk menciptakan definisi diri serta berbagai penemuan yang baru (new person, new experiences, new discoveries).
Kalau kita sampai hari ini belum menemukan guru manusia yang sesuai, maka guru yang terdekat dan paling mudah ditemui adalah dengan membaca buku dan mempraktekkannya, baik di lingkungan kerja maupun di dimensi lain dalam kehidupan. Dengan demikian, kita selalu memperbaharui dan mengembangkan self-knowledge, atau pemahaman diri, sehingga akhirnya, setiap hari kita menjadi orang baru. Semoga bermanfaat!