kEGIATAN

Senin, 14 Maret 2011

Menangani Depresi Para ABG


Berbagai Persoalan Remaja

Orang bilang, masa remaja itu masa yang paling indah. Pernyataan ini bisa benar bisa juga tidak tergantung dari kaca mata yang melihat dan mengalaminya. Namun ada beberapa persoalan yang biasanya dialami ABG, alias Anak Baru Gede, sebagai implikasi dari pertumbuhannya.  Persoalan ini bisa dibilang unavoidable problem namun belum tentu tidak bisa di selesaikan. Persoalan yang unavoidable dan unresolved itu lah yang membuat remaja bisa tenggelam dalam depresi. Mari kita simak, apa saja persoalan yang dihadapi remaja.  

Panggilan menemukan jati diri
Remaja adalah masa transisi perkembangan fisik dan mental yang terjadi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Kalau kembali lagi ke teorinya Erik Erikson, masalah yang paling dekat dengan para remaja adalah search for identity (dorongan untuk unjuk diri, pencarian identitas) dan role confusion (menghadapi kebingungan peran). Remaja di sini, menurut Erikson, adalah anak yang sudah mulai masuk umur 12 sampai 18 tahun (Human Development, James W. Wander Zender, 1989).



Satu sisi, mereka punya dorongan  untuk menunjukkan siapa dirinya, tetapi di sisi lain, mereka belum memiliki kemampuan untuk membuktikan siapa dirinya. Mereka ingin dipandang, tetapi orangtua belum memiliki alasan untuk memandangnya. Mereka ingin dibebaskan, tetapi orangtua masih meragukan konsistensinya. Inilah yang kerap memicu bentrokan dalam keluarga.  Bentrokan ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jikalau persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat, tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.

Urusan cinta
Masalah lainnya adalah urusan cinta (puberty). Mau kita menyebutnya cinta monyet atau cinta apa, mereka berhadapan dengan persoalan ini. Apesnya, tidak semua remaja dibekali persiapan menghadapinya. Banyak kaum ibu yang dibikin pusing tujuh keliling karena memikirkan anaknya yang jatuh cinta, sms tengah malam, mbolos sekolah, atau membengkakkan tagihan telepon rumah. Lebih-lebih jika si anak jatuh cintanya pada teman yang menurut orang tua "kurang pas" bibit-bebet-bobot nya. Akan lebih ruwet lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan kita. Ruwetnya urusan cinta juga termasuk sumber masalah.


Secara Psikologi, munculnya semarak bercinta pada remaja itu bisa ganda. Ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif misalnya: mereka bisa merasakan sensasinya cinta, cinta menyemangati pertumbuhannya, memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan dukungan, dorongan, dan perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial. Sedangkan yang negatif antara lain: cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas, dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang potensi bunuh diri karena ketakutan atau kekhawatiran akan kehilangan orang tersayang (Psychology & Life: Philip G. Zimbardo, 1979)

Tuntutan prestasi
Hal lain yang juga ikut menjadi sumber masalah remaja adalah standar prestasi yang terlalu tinggi dan terlalu mengancam dirinya, entah itu yang ditetapkan orangtua, lembaga atau  lingkungan. Sekedar untuk masukan, kata para aktivitas anak, sekarang ini banyak remaja dari keluarga ekonomi menengah-bawah yang cepat stress atau depresi karena terlalu sering disuguhi tayangan yang menunjukkan kemewahan materi. Secara mindset, jika tanpa bimbingan, mereka mudah berpikir kalau tidak kaya dan tidak mewah, hidup ini tidak ada harganya. Low self esteem adalah persoalan yang gampang memicu stress.


"Lho, apa tidak boleh kita memberikan standar prestasi yang tinggi pada anak? Bukankah itu malah bagus?" Kalau melihat di prakteknya, ini bisa sangat bagus dan bisa berpotensi untuk kurang bagus (minimalnya untuk periode tertentu). Bagus dan kurang bagusnya seringkali bukan tergantung pada tingginya standar prestasi, melainkan tergantung model pola asuh yang kita terapkan.



Jika standar yang tinggi itu kita maksudkan untuk menyemangati tekad dan visinya dalam berprestasi, kita sesuaikan dengan kelebihan, perkembangan, dan keadaan (anak dan orangtua), plus kita sediakan ruang untuk melatih kemandirian, tanggung jawab, dan kebebasannya, ini sangat bagus. Bukti-buktinya mudah kita temukan di lapangan. Menurut teori parenting-nya, ini biasa disebut dengan istilah otoritatif. Orangtua punya posisi kuat untuk menegaskan arahan, namun tetap memberikan ruang kreativitas untuk si anak agar meng-eksplorasi potensinya. Istilah jawa-nya, orangtua memegang kakinya dan membebaskan kepalanya.


Yang sering menimbulkan stress, atau bahkan depresi, adalah ketika standar prestasi yang tinggi itu dipatok dari atas demi tuntutan persaingan orang dewasa. Ini mungkin mirip seperti seorang pandai besi yang memukul dan membakar besi untuk dibentuk sesuai seleranya. Lebih-lebih jika si anak merasa perlu untuk memberontak atau menolak karena tidak sesuai dengan kemampuannya atau seleranya. Jika ini masih ditambah dengan respon orangtua yang negatif, misalnya ngomel, mengancam, atau memboikot uang saku, bukan tidak mungkin anak terkena depresi. Menurut teori parenting-nya, pola asuh ini biasa disebut otoritarian.



Depresi & Percobaan Bunuh Diri
Di masyarakat kita, jangan kan bunuh diri, percobaan bunuh diri saja sudah termasuk kejadian luar biasa (extraordinary cases). Lebih-lebih jika itu remaja yang melakukannya. Ini mungkin agak beda dengan di Jepang, seperti yang dijadikan landasan temuan Durkheim tentang bunuh diri (Suicide, 1897). Di Jepang, ada fenomena bunuh diri yang disebut altruistic suicide atau praktek bunuh diri yang terjadi karena adanya ikatan dan tuntutan masyarakat sekitar (tradisi).


Meski termasuk kejadian luar biasa atau eksepsional, tetapi sebagai wawasan tidak ada salahnya juga kalau kita mulai menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri adalah sesuatu yang memiliki penjelasan cukup rasional. Ini tidak hanya terjadi di negara luar sana. Di kita pun begitu. Kesalahan orang dewasa, kata Kak Seto dan kawan-kawan, adalah meremehkan atau tidak menyadarinya.



Bentuk sikap meremehkan itu misalnya kita berpikir bahwa remaja itu tidak mungkin terkena stress apalagi depresi. "Apa sih yang dipikirin mereka? Makan tinggal makan, uang tinggal minta, cinta belum saatnya, mau apa-apa tinggal bilang ke orangtua?" Dengan bersikap seperti itu, maka sangat mudah kita membiarkan mereka menyusuri jalan gelap sendirian. Atau bahkan malah menekan mereka sehingga terjadi akumulasi depresi.


Berbagai surat kabar atau televisi sudah sering menayangkan praktek dan percobaan bunuh-diri yang dilakukan remaja. Terkadang sebabnya sepele menurut kita. Mungkin, karena sudah mengakumulasi, akhirnya hal-hal yang sepele itu menjadi besar yang tidak disadari akibatnya. Di Jawa Timur misalnya ada remaja yang bunuh diri karena diputus pacar. Di Jawa tengah seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri karena menghabiskan uang SPP. Di Bali, seorang remaja mau gantung diri karena nilai UN-nya jeblok dan takut dimarahi orangtua. Motif merek ada yang karena sudah buntu dan ada yang karena mencari perhatian.

Sejumlah faktor yang mendorong bunuh diri pada remaja*
1.      Depresi berskala tinggi
2.      Penyalahgunaan narkoba
3.      Kehampaan dukungan orangtua
4.      Konflik hubungan
5.      Penyakit kejiwaan
6.      Gagal di sekolah
7.      Kehilangan orang tercinta dalam hidupnya
8.      Pengangguran (tidak sekolah, tidak kerja, tidak punya aktivitas apa-apa)
9.      Perfeksionis yang tidak rasional

*) Dari berbagai sumber

Dari observasi para ahli  di lapangan, dan ini sudah sering ditayangkan di media, jarak antara mereka ingin melakukan percobaan dan takut melakukan percobaan, itu katanya sangat tipis dan biasanya hanya beberapa menit. Kenapa jarak menjadi tipis dan sebentar? Salah satu alasannya adalah karena depresi dan belum tahu bagaimana mengatasi depresi secara positif ditambah lagi dengan lingkungan yang kurang mendukung.


Dengan kata lain, kalau kita menyadari bahwa hubungan antara remaja, depresi, dan percobaan bunuh diri itu adalah sesuatu yang sangat mungkin relevan, maka kesadaran ini sangat berpotensi mendorong kita untuk lebih peduli, lebih hati-hati, dan lebih dekat. Ini akan beda dengan ketika kita terus berusaha menafikan atau me-masabodoh-kan. Biasanya, kalau kita sudah menganggap tidak ada sesuatu yang ada, antisipasi kita sulit untuk muncul.



Darimana Mulai Membantu Mereka?
Tentu, normalnya, tidak ada orangtua yang rela melihat anak remajanya terkena depresi. Stres pun kalau bisa jangan. Lebih-lebih sampai melakukan percobaan bunuh-diri. Membayangkannya saja sudah ngeri. Pertanyaan yang butuh jawaban adalah, apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar si anak terhindar dari stress berat (depresi) atau bagaimana mengembangkan kemampuan anak dalam menghadapi kejutan buruk (sumber depresi) yang notebene itu adalah pengalaman baru bagi mereka?


Kalau melihat akar depresi, entah itu untuk remaja atau orangtua, depresi itu berakar dari ketidaksiapan dalam menghadapi kenyataan. Bedanya, orangtua sudah memiliki referensi banyak dalam menghadapinya, sementara remaja referensinya sedikit. Jika ini ditambah dengan sikap tidak peduli dari orangtua, sempurnalah kebingungannya. Beberapa tanda depresi yang bisa kita kenali pada kehidupan anak remaja antara lain:
  • Ada perubahan yang sangat mencolok pada pola makan (malas makan atau ingin makan terus) dan pola tidur
  • Mengalami perubahan mood secara dramatis, cepat marah, cepat tersinggung, cepat menyendiri atau terlalu reaktif
  • Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba
  • Mengalami penurunan prestasi di sekolah
  • Kurang bergairah untuk menciptakan masa depan yang cemerlang
  • Menarik diri dari keluarga atau orang-orang yang dianggap mau mengontrolnya
  • Menunjukkan aura keputusasaan, ketidakbahagiaan, atau rasa bersalah (takut)

Sikap peduli seperti apa yang dapat membantu mereka? Sebagai penegasan terhadap apa yang sudah kita ketahui,  kita bisa melakukan langkah-langkah di bawah ini:
  • Berbicaralah empat mata dan nyatakan perhatian dan kepedulian 
Remaja biasanya malas kalau mendengar nasehat apalagi yang itu-itu melulu, namun jauh di lubuk hati mereka tetap membutuhkan perhatian dan kepedulian orang tua. Hanya saja, ukuran dan jenis perhatian dan sikap dalam menyatakan perhatian itu mungkin sudah mesti berbeda dari yang kita berikan ketika mereka masih anak-anak.  Salah-salah, maksud baik kita malah di tolak hanya karena cara kita mengekspresikan kasih sayang, tidak pas dengan mereka. Ini bisa berbuntut panjang kalau orang tua salah menilai respon mereka sebagai wujud tidak sayang lagi pada orang tua. Tidak ada salahnya mencoba berbagai cara, sampai ketemu yang pas untuk kedua belah pihak.
  • Jelaskan bahwa Anda mengamati tanda-tanda tertentu dan ingin mendengar penjelasannya
Menghadapi remaja, susah-susah gampang, perlu waktu dan kesabaran, tapi juga perlu logika rasional supaya orang tua tidak terbawa emosi atau salah menangkap arti. Kalau menghadapi remaja yang sedang sedih dan berubah menjadi pemurung, pendiam dan suka menarik diri, maka sikap dominan dan otoriter, memaksa mereka untuk berterus terang malah memperburuk hubungan. Sebaliknya, sikap terbuka membuat remaja melihat bahwa orang tua juga manusia. Kalau Anda cukup mau berbesar hati, Anda bisa menceritakan pengalaman buruk Anda di masa lalu, dan bagaimana rasanya waktu itu. Anda bisa cerita tanpa tendensi mempersuasi anak untuk  mau cerita, atau mau "adu susah" dengan kesusahan anak. Yang Anda sampaikan intinya satu, yakni bahwa Anda mengerti bagaimana rasanya terpukul terbiru-biru, kecewa, sakit hati, shock, dsb karena Anda sudah pernah ada di sana ("it's good to have someone during this terrible time")  
  • Posisikan diri Anda untuk lebih mendengarkan
Oleh karenanya, menjadi teman dan penguat akan jauh lebih diperlukan dari pada sekedar nasehat apalagi menjadi hakim. Kehadiran Anda dengan sikap memahami, tanpa banyak berkata-kata pun, bagi mereka sesuatu yang menenangkan. 
  • Ajukan pertanyaan yang mendorong mereka untuk bercerita (eksploratif)
Namun kita sendiri juga harus siap mental dan emosional untuk menghadapi cerita anak. Mungkin anak merasa takut bercerita dan cemas jangan-jangan dia akan kena marah. Kalau Anda bisa menguasai diri dan bersikap rasional, Anda bisa melihat masalah yang dia ceritakan dengan obyektif dan kepala dingin. Anda bisa memisahkan antara perasaan Anda dengan solusi yang harus di ambil. Hargai keterbukaan dan kejujuran anak, karena bagi mereka yang mengalami depresi, bercerita dan berekspresi adalah hal yang sangat sulit.  
  • Pancinglah bagaimana solusi yang ia pikirkan dan bantulah mereka dengan sejumlah alternatif / solusi
Dengan memancing pola pikir anak untuk mencari solusi yang rasional, kita membimbing pola pikir anak keluar dari situasi "tidak ada jalan keluar" yang selama itu ada di dalam pikirannya. Jika anak ragu untuk mengambil keputusan, berikan pandangan mengenai plus minus tiap alternative yang ada, namun berikan keyakinan bahwa orang tua akan membantu mereka menghadapi apapun yang terjadi.  
  • Pikirkan langkah untuk mendapatkan bantuan  profesional jika dibutuhkan
Hal-hal di atas bisa dilakukan selama stress dan depresi yang dialami belum dalam taraf berat, dimana anak masih bisa berkomunikasi dan mengekspresikan perasaannya. Namun, ada pula yang mengalami depresi berat hingga membutuhkan penanganan professional, seperti konselor atau psikolog yang bisa membantunya mengatasi depresinya setahap demi setahap sambil meluruskan kembali pola pikir yang keliru serta mengembalikan tujuan dan semangat hidupnya.
  • Menghargai anak dan mempelajari kontribusi diri dalam masalah yang terjadi
Berpikirlah bahwa mereka itu adalah amanat (barang berharga yang dititipkan Tuhan) kepada kita, bukan berpikir sebagai pemilik sehingga memudahkan kita menjadi otoriter atau menekan dari atas. Ada kalanya, masalah yang membuat mereka depresi itu lah yang bisa membebaskan mereka dari belenggu pola pikir yang keliru. Ini semua kembali dari bagaimana orang tua menilai masalah  yang dihadapi oleh anak. Jika kita merasa paling benar, maka most likely kita akan menilai masalah yang dihadapi anak kita 100% akibat kesalahan anak. Namun, jika kita berpikir hati-hati, bisa jadi kita sendiri kaget karena menyadari kontribusi kita terhadap masalah ini. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan anak begitu saja, tapi mari sama-sama koreksi diri agar semua pihak bisa menemukan jalan yang lebih benar untuk mencapai tujuan hidup.  

Sedangkan untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi realitas, langkah yang bisa kita lakukan antara lain:
  • Libatkan mereka dalam tanggungjawab atau peranan tertentu yang membuat mereka merasa berharga dan dihargai orangtua. Mulailah melibatkan mereka ke dalam beberapa keputusan keluarga
  • Berilah kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidupnya, namun tetap terkontrol dan proporsional: tidak terlalu dilepas dan juga tidak terlalu didikte
  • Terus tanamkan nilai dengan cara yang kreatif. Bisa nilai agama atau kearifan lain. Namun cara paling efektif untuk menanamkan nilai, justru dari memberi contoh kongkrit melalui kehidupan yang kita jalankan sehari-hari. Bagaimana cara kita menghadapi masalah dan apa makna masalah buat kita, apa makna  kegagalan dan bagaimana menyikapinya, itu semua akan jadi ajaran nilai kalau anak melihat langsung dari orang tuanya. Nilai yang kita tanamkan itu sama seperti benih yang kita sebar. Suatu saat, pasti akan tumbuh. Bedanya, ada yang cepat dan ada yang lambat. Jangan sampai kita cepat give up dalam menanamkan nilai karena merasa tidak didengar atau sering ditolak
  • Tantanglah dengan berbagai rangsangan positif untuk memperbaiki logika, kreativitas dan kepercayaan-dirinya. Misalnya memberi bahan bacaan, mendiskusikan isu, mengembangkan bakat, dan lain-lain. Bahkan, dengan cara melibatkan mereka dalam keputusan keluarga, hal itu juga membantu logika dan kreativitas mereka.
  • Jangan lupa menempuh cara-cara yang non-empiris, misalnya mendoakan mereka, menjauhkan mereka dari dana yang tidak halal, memperbanyak sedekah (menolong orang lain) atau menjalin silaturahmi dengan keluarga.  

Disiplin


Pendidikan disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu, atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji, 1988). Di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orang tua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut. 
Setiap orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya, dengan menanamkan perilaku yang dianggap baik dan menghindari perilaku yang dianggap tidak baik. Hal ini memang akan lebih mudah dilakukan jika anak sebagai seorang individu mematuhi kemauan orang tuanya. Namun demikian, tujuan utama dari disiplin bukanlah  hanya sekedar menuruti perintah atau aturan saja. Patuh terhadap perintah dan aturan merupakan bentuk disiplin jangka pendek. Sedangkan tujuan pendidikan disiplin adalah agar setiap individu memiliki disiplin jangka panjang, yaitu disiplin yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan atau otoritas, tetapi lebih kepada pengembangan kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri sebagai salah satu ciri kedewasaan individu. Kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap hak dan keingian orang lain, dan mau mengambil bagian dalam memikul tanggung jawab sosial secara manusiawi. Hal inilah yang sesunguhnya menjadi hakekat dari disiplin.
Hukuman
Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orangtua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman. Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orangtua atau pun guru dalam mendidik anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif  yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
Dampak lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang diberikan orangtuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orangtua mereka. Akibatnya tidak sedikit orangtua membiarkan anak-anak "bahagia" tanpa disiplin. Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Beberapa Saran
Walaupun dalam merespon perilaku setiap individu akan memiliki cara-cara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai berikut.
a.  Berkelanjutan  
Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa, membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yang menyenangkan dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya sejak dini. Dengan perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa berikutnya karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
Selain itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku yang tidak diinginkan atau pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan, persetujuan atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun lingkungan sekitarnya.
b.  Autoritatif
Pendidikan disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja, semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Hal ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut,  tidak ramah dengan orang lain,  dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutam. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Cotoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
c.  Beri Batas-Batas yang Jelas
Batas-batas tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas,  misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak menganggu orang lain dan menghindarkan anak dari kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orangtua harus sudah memberikan batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.
Penting bagi orangtua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan kematangan anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan yang telah dicapai oleh remaja tersebut.

d.  Konsisten & Fleksibel 
Setelah batas-batas ditentukan, maka orangtua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orangtua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja  bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orangtua namun bukan berarti bahwa batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orangtua semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.
e.  Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua dengan alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orangtua sangat perlu untuk mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dsb. Jangan lah menganggap bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orangtua (meski harus diakui ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orangtuanya). Kesalahan yang seringkali dilakukan orangtua adalah terlalu menganggap anaknya sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja, sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orangtua yang lupa bahwa anak remajanya masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orangtua, meski mereka terlihat enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orangtua lah  yang seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut. Bukankah orangtua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.
f.  Berlatih
Orangtua hendaknya mengarahkan anak untuk  mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dsb.   Hal ini perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.
g.  Hukuman 
Hukuman yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si penghukum (orangtua). Jika harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar,dsb,  terhadap anak-anak.
h.  Komunikasi 
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif  antara anak dan orangtua.  Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenannya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang lain.

Menelusuri Kecemasan pada Remaja



Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja, bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?

Period of Storm and Stress

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)
Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).
Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.
Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, "Bete niiih.." Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.
Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)

Empat Model Kognitif Bagi Kecemasan Remaja

Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan. Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam Laugesen,2003) berikut;
"Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal thoughts related to possible threatening outcomes and their potential consequences."
Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi) terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3) orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.
Pemahaman tiap variabel tersebut:
1.     Intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan perilaku.
2.     Sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi ketakutan dan kegelisahan.
3.     Orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah, menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul.
4.     Penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a) proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b) strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.
Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.
Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?

Siapa Anda? Siapa Saya?

Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai "a belief that one can perform a specific behavior," dan "Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses." Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.
Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, "self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself." Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan "Siapa Anda? Siapa saya?" menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.
Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, misalnya "Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik." Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, seperti, "Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras kepala," biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari pandangan dirinya sendiri seperti "…padahal saya hanya mempertahankan pendapat saya saja." Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan lingkungan terhadap diri, seperti "…memang saya merasa susah menerima perbedaan sih.." Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.
Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, "He/she is what he/she wants to be." Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.

Budaya & Perkembangan Budaya

Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia, di mana individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?
Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept, self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di Indonesia.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes