kEGIATAN

Senin, 22 Februari 2010

bimbingan

Setiap Orang Butuh Bimbingan

Di zaman mudanya, konon Ronggowarsito yang punya nama asli Bagus Burham itu dikenal seorang anak muda dari kelas sosial atas yang nakalnya minta ampun. Karena nakal itulah sang ayah mengirim Ronggo didampingi seorang emban Ki Tanujoyo ke seorang tokoh masyarakat berpengaruh pada zaman itu, yaitu Kyai Imam Besari, di daerah Tegalsari Ponorogo Jawa Timur untuk berguru. Setelah beberapa bulan di situ, ternyata Ronggowarsito tidak banyak berubah bahkan uang 500 real untuk modal belajar dan dua kudanya dijual untuk judi.

Ki Tanujoyo dinilai terlalu lemah oleh Kyai Imam Besari yang selalu meng-iya-kan keinginan Ronggowarsito. Akhirnya mereka secara diam-diam meninggalkan Tegalsari menuju tempat yang jauh. Mendengar berita ini ayah Ronggowarsito memohon agar Kyai Imam Besar ikut membantu mencari dimana Ronggowarsito berada. Sampai akhirnya ditemukan dan dibawa lagi ke Tegalsari, saat itulah Kyai Imam Besar konon marah besar kepada Ronggo yang punya tabiat tidak baik di samping prestasi akademiknya jatuh.

Setelah dimarahi-langsung oleh Sang Kyai, Ronggowarsito mulai berubah bahkan konon sampai membuat banyak orang kagum atas sedemikian dahsyat perkembangan intelektual / prestasi akademik yang dicapai. Itulah bagian awal perjalanan Ronggowarsito menjadi seorang pujangga, pejabat keraton, intelektual, dan bahkan dalam sejarahnya banyak murid-murid Ronggowarsito yang datang dari luar negeri yang bisa disebut nama-namanya antara lain: C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing atau Jansen dan lain-lain.

Ada kemungkinan besar sekali bahwa dalam praktek hidup, proses yang terjadi tidaklah se-otomatik seperti yang tertulis di dalam naskah di mana ada orang yang langsung berubah setelah dimarahi atau ditegur orang lain. Dalam kenyataan, proses belajar dan berubah ini ibaratnya proses tarik-ulur tambang kesadaran yang berkali-kali. Sudah pasti tidak semua orang punya cita-cita atau perjalanan hidup seperti Ronggowarsito atau Soekarno yang berguru pada Cokroaminoto atau tokoh-tokoh sekarang yang dulunya adalah murid khusus M. Natsir, namun kalau tradisi ini malah bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan diri kita, mengapa tidak dilakukan saja? Apakah kebutuhan untuk berguru terhadap pembimbing pribadi ini tidak bisa dipenuhi dari pendidikan formal yang sudah ada? Pada bagian tertentu jelas sudah bisa dipenuhi tetapi hal mendasar yang mesti kita sadari tentang pendidikan formal / non-formal adalah sistemnya yang sudah sejak awal dirancang untuk kebutuhan orang banyak (generic) dan sudah dipatok harus memenuhi kebenaran-metodelogis tertentu yang sudah dilegalkan. Di sisi lain meskipun kita sebagai manusia memiliki kesamaan tetapi secara pribadi kita memiliki keunikan tersendiri yang membutuhkan model sentuhan yang berbeda.

Manfaat Belajar dari Pembimbing Pribadi

Mengapa kita membutuhkan pembimbing pribadi ? ada beberapa alasan yang dapat kita lihat bersama:

a. Belajar dari kesalahan masa lalu

Satu dari sekian alasan mengapa kita butuh pembimbing pribadi adalah bahwa pengalaman dan wawasan mereka, merupakan pelajaran amat bernilai, dalam mengantisipasi terulangnya kesalahan yang mungkin akan kita lakukan, jika kita tidak belajar dari kesalahan atau kegagalan mereka. Namun dalam praktek hidup sehari-hari menunjukkan sebuah kebiasaan bahwa amat jarang orang mau membagikan sesuatu yang berharga bagi dirinya, apalagi jika hanya sekedar "kenal" dan "tahu sama tahu" walaupun orang itu secara struktural menjadi atasan kita dan setiap hari bertemu.

Dalam pekerjaan (di kantor) sehari-hari, ada fakta umum yang mudah kita temukan bahwa sebanyak apapun pengetahuan kita tentang pekerjaan tertentu, namun ketika sampai pada pelaksanaannya, tetap saja ada hal-hal tertentu yang belum kita ketahui. Sebaliknya, sesederhana apapun pekerjaan yang kita lakukan, tetapi jika dikerjakan dengan sepenuh hati dan dengan segenap kreativitas demi mencapai hasil yang terbaik, maka kita seringkali menemukan pengetahuan dan pemahaman baru (insight and understanding, knowledge and awareness).

Kenyataan demikian mengkonfirmasi pernyataan Bruce Lee bahwa hidup ini adalah sebuah sekolah. Kita perlu selalu berada dalam keadaan belajar, karena sekolah kehidupan terlebih dahulu memberikan ujian-ujian, baru kemudian materi pelajarannya. Oleh karena itu, "sharing knowledge", saling berbagi pengalaman satu orang dengan yang lain, akan memperkaya diri kita dengan berbagai materi dan pengalaman hidup orang lain sehingga kita bisa belajar mengantisipasi kesalahan dan kegagalan yang mungkin bisa terjadi dalam proses belajar menunju kemajuan.

b. Merobohkan tembok mental dan persepsi diri yang keliru

Setiap orang cenderung pernah memiliki mispersepsi terhadap diri sendiri (misperception about self). Perasaan tidak mampu, tidak sanggup atau tidak bisa, belum tentu benar-benar disebabkan tiadanya kemampuan actual / kemampuan riil. Persepsi negative yang membuat kita ragu pada diri sendiri, tanpa disadari menjadi sebuah tembok, yang membatasi kemampuan, kesempatan dan kemajuan kita sendiri. Mahatma Gandhi mengatakan, orang tidak akan bisa mengalahkan tantangan di luar dirinya, sebelum mengalahkan tantangan (merobohkan tembok mental) di dalam dirinya.

Dalam seni kehidupan, faktor mental, fisik dan ketrampilan (skill) - ketiganya memiliki pengaruh yang signifikan, karena kalau yang satu terganggu maka yang lain biasanya ikut terganggu. Pernyataan Henry Ford yang terkenal "Baik anda berpikir bisa dan tidak bisa, keduanya benar." Berpikir tidak bisa akan membuat kita benar-benar tidak bisa (tidak mampu) meskipun pada hakekatnya kita punya kemampuan untuk bisa. Pengalaman Greg Phillips yang menggeluti bidang SDM juga berkesimpulan senada bahwa awal kemampuan seseorang meraih prestasi itu adalah kekuatan mental yang positif di mana seseorang meyakini kemampuannya lebih besar dibanding tantangan hidup yang dihadapi. Persepsi keliru terhadap diri sendiri, yang menghalangi pertumbuhan dan keberhasilan diri, membuat peran guru pembimbing menjadi amat berarti bagi kita.

Jim Rohn dari pengalamannya menggeluti bidang SDM menyimpulkan bahwa "man not lack of capacity but lack of teaching". Banyak hal yang semula kita simpulkan tidak bisa tetapi karena kita diajari oleh orang lain yang lebih dahulu menguasai dan menggeluti masalah itu, akhirnya kita mampu menjalaninya dengan baik. Kita sudah melihat kendala yang dialami pembimbing dan belajar dari kesalahan dan kebangkitan mereka -hingga dalam diri kita bisa tumbuh keyakinan, bahwa kita sendiri sesungguhnya mampu. Dan keyakinan ini lah yang akhirnya membuat kita benar-benar mencapai keberhasilan.

c. Meneguhkan keyakinan diri

Dalam praktek hidup banyak sekali yang membuktikan bahwa semua yang diciptakan Tuhan di dalam diri kita tidak main-main, alias sebuah materi yang kalau disentuh dengan pemberdayaan akan berguna bagi kita, termasuk misalnya saja rasa malu atau rasa takut. Padahal, keduanya kalau dibiarkan jelas bisa menghambat keinginan kita untuk maju. Tetapi kalau diberdayakan (baca: diolah menjadi energi positif), rasa malu bisa menjadi semacam pil penguat stamina mempertahankan komitmen pada usaha meraih keinginan.

Kebutuhan kita terhadap guru pembimbing diperlukan untuk membuat kita memahami diri sendiri (emosi dan persepsi) dan mengendalikan diri - atas dasar pemahaman yang lebih dalam terhadap diri sendiri. Sebab, kita seringkali masih perlu diingatkan bahwa emosi dan persepsi yang tidak tepat, dapat membuat kita bereaksi secara tidak tepat dan akhirnya menghambat kita melakukan tindakan yang positif, tepat dan sehat. Kita sering ragu dan takut melakukan sesuatu, hanya karena dikuasai ketakutan dan keraguan. Sebaliknya, ada pula yang tidak berpikir dalam dan panjang - tanpa pertimbangan dan emosional sehingga dapat melakukan tindakan nekat atau berbahaya. Untuk itu, keberadaan guru pembimbing menjadi sangat penting. Pepatah mengatakan: manusia sebenarnya tidak membutuhkan pengetahuan sebanyak kebutuhannya terhadap terhadap bimbingan dan peringatan / arahan.

Bagaimana Proses Belajar yang Efektif?

Siapa saja yang bisa kita jadikan guru pembimbing? Sesungguhnya, semua orang yang menurut kita memiliki nilai diri yang berkualitas dan pengalaman yang kompleks (baik pengalaman sukses maupun gagal), atau mereka yang terlebih dahulu berprestasi, dapat menjadi pembimbing kita. Sayangnya, keberadaan mereka di sekeliling kita pun tidak menjamin keberhasilan kita bertumbuh dan berkembang. Hal ini bukan disebabkan ketidakmauan sang pembimbing, namun bisa disebabkan ketidaktahuan diri sendiri akan apa yang benar-benar kita perlu pelajari dalam hidup ini. Untuk memahami apa yang menjadi kebutuhan belajar kita, ada beberapa cara yang bisa dilakukan:

1. Mempelajari nilai dan prinsip utama yang dituntut oleh profesi dan pekerjaan

Kita harus memahami nilai dan prinsip kerja yang diperuntukkan bagi kita, sesuai bidang kerja dan jabatan yang kita emban saat ini. Meminjam istilah Gardon Dryden & Dr. Jeannette Vos (Learning Revolution: 1999) isu besar itu dapat pula kita artikan dengan "prinsip utama" yang mengatur suatu pekerjaan. Prinsip dan nilai tersebut akan berbeda antara satu pekerjaan / peran dengan yang lainnya, dan berbeda industri - akan berbeda pula nilai serta prinsipnya. Oleh sebab itu, belajarlah dari pembimbing yang dapat membuat kita bercermin dan menemukan, apa yang masih harus kita lengkapi dan kembangkan, atau bahkan diubah - sesuai dengan tuntutan situasi kondisi kerja saat itu. Dari pembimbing, kita pun belajar bagaimana menghadapi masalah-masalah yang secara spesifik cenderung muncul dalam proses kerja sehari-hari. Kita harus mempelajari, prinsip dan nilai apakah yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan, sehingga kita bisa survive dan sukses dalam bekerja.

2. Menetapkan batasan (setting boundaries and priorities)

Menentukan batasan-batasan yang harus kita ketahui dan pelajari, baik secara konseptual maupun praktek, agar kita dapat tahu apa yang diperlukan untuk mampu beradaptasi terhadap tuntutan pekerjaan (memfokuskan diri pada prioritas utama di dalam ruang lingkup pekerjaan, sehingga apa yang kita pelajari dan lakukan, lebih pasti, jelas dan relevan - bermanfaat bagi prestasi dan karir)

3. Menentukan siapa pembimbing yang tepat

Menentukan orang-orang tertentu yang menurut kita bisa memberikan informasi akurat berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya (pembimbing pribadi). Ibarat dalam perang, mendapatkan informasi dari sumber terpercaya diakui oleh Sun Tzu sebagai aset yang menentukan keberhasilan. Setelah itu, berusahalah menemukan dan menggunakan cara belajar yang paling sesuai dengan karakteristik sang guru pembimbing. Merujuk cara Einstein atau Dale Carnegie, bahwa sebagian dari prinsip utama berguru itu sesungguhnya dilakukan dengan memunculkan sebanyak mungkin tanda tanya di dalam diri murid - untuk kemudian sang murid lah yang harus mencari jawabannya sendiri. Atau, mengajukan pertanyaan dengan cara yang dikehendaki oleh guru dan lebih banyak menggunakan telinga untuk mendengarkan, karena mendengarkan adalah cara yang paling efektif untuk menarik perhatian sang guru.

4. Belajar sendiri - Learning by doing

Mengolah dan menjalankan sendiri - bukan menjiplak atau mengikuti secara mentah-mentah. Mengolah dan menjalankan sendiri setiap prosesnya, adalah dua faktor yang menurut pendapat Gib Atkin, membedakan knower dengan learner. Knower berarti, hanya sebatas tahu saja dan pengetahuan itu pun dipamahami sebagai sebuah konsep. Namun, learner adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan dan penggerak untuk menciptakan definisi diri serta berbagai penemuan yang baru (new person, new experiences, new discoveries).

Kalau kita sampai hari ini belum menemukan guru manusia yang sesuai, maka guru yang terdekat dan paling mudah ditemui adalah dengan membaca buku dan mempraktekkannya, baik di lingkungan kerja maupun di dimensi lain dalam kehidupan. Dengan demikian, kita selalu memperbaharui dan mengembangkan self-knowledge, atau pemahaman diri, sehingga akhirnya, setiap hari kita menjadi orang baru. Semoga bermanfaat!

ketrmpilan

Mengembangkan Ketrampilan Sosial pada Remaja

Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Ketrampilan-ketrampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Ketrampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.

Ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas maka amatlah penting bagi remaja untuk dapat mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan.

Delapan Aspek

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (sosial skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Ketrampilan-ketrampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri & orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal.

Menurut hasil studi Davis dan Forsythe (1984), dalam kehidupan remaja terdapat delapan aspek yang menuntut keterampilan sosial (social skills) yaitu:

Keluarga

Lingkungan

Kepribadian

Rekreasi

Pergaulan dengan lawan jenis

Pendidikan/sekolah

Persahabatan dan solidaritas kelompok

Lapangan kerja

Beberapa Saran

Dalam pengembangan aspek psikososial remaja, maka delapan aspek yang menuntut ketrampilan sosial remaja harus dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kondisi yang kondusif. Di bawah ini adalah beberapa saran yang mungkin berguna bagi pengembangan aspek psikososial remaja:

1. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home dimana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dari:

kurang adanya saling pengertian (low mutual understanding)

kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan orangtua dan saudara

kurang mampu berkomunikasi secara sehat

kurang mampu mandiri

kurang mampu memberi dan menerima sesama saudara

kurang mampu bekerjasama

kurang mampu mengadakan hubungan yang baik

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas maka amatlah penting bagi orangtua untuk menjaga agar keluarga tetap harmonis. Kehramonisan dalam hal ini tidaklah selalu identik dengan adanya orangtua utuh (Ayah dan Ibu), sebab dalam banyak kasus orangtua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam membantu perkembangan psikososial anak. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orangtua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak.

2. Lingkungan

Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga), lingkungan juga meliputi lingkungan keluarga(keluarga primer & sekunder), lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orangtua, saudara, atau kakek dan nenek saja.

3. Kepribadian

Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Disinilah pentingnya orangtua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.

4. Rekreasi

Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya dapat terpenuhi. Dengan rekreasi seseorang akan merasa mendapat kesegaran baik fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capai, bosan, monoton serta mendapatkan semangat baru.

5. Pergaulan dengan Lawan Jenis

Untuk dapat menjalankan peran menurut jenis kelamin, maka anak dan remaja seyogyanya tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan teman-teman yang memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan lawan jenis akan memudahkan anak dalam mengidentifikasi sex role behavior yang menjadi sangat penting dalam persiapan berkeluarga maupun berkeluarga.

6. Pendidikan

Pada dasarkan sekolah mengajarkan berbagai ketrampilan kepada anak. Salahsatu ketrampilan tersebut adalah ketrampilan-ketrampilan sosial yang dikaitkan dengan cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya. Dalam hal ini peran orangtua adalah menjaga agar ketrampilan-ketrampilan tersebut tetap dimiliki oleh anak atau remaja dan dikembangkan terus-menerus sesuai tahap perkembangannya.

7. Persahabatan dan Solidaritas Kelompok

Pada masa remaja peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Seringkali remaja bahkan lebih mementingkan urusan kelompok dibandingkan urusan dengan keluarganya. Hal tersebut merupakan suatu yang normal sejauh kegiatan yang dilakukan remaja dan kelompoknya bertujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Dalam hal ini orangtua perlu memberikan dukungan sekaligus pengawasan agar remaja dapat memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat bagi perkembangan psikososialnya.

8. Lapangan Kerja

Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan menghadapi dunia kerja. Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah dasar. Melalui berbagai pelajaran disekolah mereka telah mengenal berbagai lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Setelah masuk SMU mereka mendapat bimbingan karier untuk mengarahkan karier masa depan. Dengan memahami lapangan kerja dan ketrampilan-ketrampilan sosial yang dibutuhkan maka remaja yang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi akan dapat menyiapkan untuk bekerja.

9. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri.

Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua/pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain/kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain/kelompok.

Selain itu anak harus diajarkan sejak dini untuk dapat memilih prioritas tugas-tugas yang harus segera diatasi, bukan menunda atau mengalihkan perhatian pada tugas yang lain. Karena itu sejak awal sebaiknya orang tua atau pendidik telah memberikan bekal agar anak dapat memilih mana yang penting dan mana yang kurang penting melalui pendidikan disiplin, tata tertib dan etika.

Kami yakin masih banyak cara-cara lain yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan ketrampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri remaja. Anda pun bebas memilih cara-cara yang tepat sesuai dengan kebutuhan remaja anda. Satu hal yang harus selalu kita ingat adalah bahwa dengan membantu remaja dalam mengembangkan ketrampilan sosial berarti kita telah membantu mereka dalam menemukan dirinya sendiri sehingga mampu berperilaku sesuai norma yang berlaku. Semoga bermanfaat.

Bakat

Mengeksplorasi Bakat Secara Mandiri

Bentuk-bentuk Bakat

Seandainya ada polling yang menanyakan tentang masalah apa saja yang dihadapi orang remaja-dewasa, boleh jadi masalah menemukan bakat termasuk yang populer, selain masalah stress akibat putus cinta atau masalah strategi menggaet calon kekasih. Menurut hasil renungan Dale Carnegie, yang diresahkan oleh manusia di dunia ini adalah dua hal. Pertama, manusia selalu resah tentang sebutan apakah yang nanti akan saya sandang sebelum mayat saya dikebumikan. Apakah saya seorang dokter, pengusaha, penulis, pegawai, wanita karir, dosen, guru, presenter, atau apa ya...?

Kedua, manusia resah tentang siapakah pasangan saya nanti? Manusia model seperti apakah yang akan menjadi ayah atau ibu dari anak saya? Apakah jodoh saya nanti orang yang baru saya kenal ataukah orang yang sudah saya kenal sebelumnya? Resah di sini punya pengertian bukan bingung atau sedih, tetapi resah dalam arti sebuah kondisi batin yang dihasilkan dari munculnya tanda tanya yang selalu mendorong kita untuk menemukan jawabannya.

Nah, kembali pada soal bakat, sebenarnya apa sih bakat itu? Apakah saya punya bakat? Makhluk semesterius apa sih bakat itu? Dimana bakat saya? Bagaimana cara menemukannya? Kepada siapa sebetulnya saya harus bertanya tentang bakat saya? Dan seterusnya.

Sebelum kita membahas pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, saya ingin mengatakan bahwa bakat menurut penjelasan teoritisnya memang punya wilayah bahasan yang cukup luas. Di dalam literatur ilmiah, ada istilah talent, ada istilah giftedness, ada istilah traits, ada istilah intelligence seperti dalam "multiple intelligence", aptitude, dan seterusnya. Selain harus berurusan dengan istilah-istilah yang mungkin tidak dimengerti bagi kebanyakan orang, pun juga tidak semua orang "boleh" memberikan penilaian tentang bakat seseorang. Hanya bagi orang-orang yang sudah bersertifikat di bidang ini yang "disahkan" memberikan penilaian.

Tetapi, bakat dalam pengertian bahasa atau dalam pengertian yang umum kita pahami adalah kelebihan / keunggulan alamiah yang melekat pada diri kita dan menjadi pembeda antara kita dengan orang lain. Kamus Advance, misalnya, mengartikan talent dengan "natural power to do something well". Dalam kamus Marriam-Webster̢۪s dikatakan "natural endowments of person". Dalam percakapan sehari-hari kita sering mengatakan si anu berbakat di nyanyi, di bisnis, di IT dan seterusnya.

Rupanya, bakat dalam pengertian kedua ini juga dipakai oleh Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Harvard University yang sering berkolaborsi dengan Howard Gardner dalam membahas kecerdasan. Dalam tulisannya, Little Geniuses, yang pernah diterbitkan majalah Parenting (1989), ia menjelaskan, bakat manusia bisa muncul dalam berbagai bentuk. Perhatikan daftar kemampuan (ability) di bawah ini lalu deteksi mana yang paling kuat di dalam diri Anda:

  • Acting Ability (akting / gerakan)
  • Adventuresomeness (kepetualangan)
  • Aesthetic perceptiveness (estitika)
  • Artistic Talent (artistik)
  • Athletic prowess (ke-atlit-an)
  • Common sense (pengetahuan umum)
  • Compassion (peduli orang lain, mudah tersentuh)
  • Courage (keberanian)
  • Creativity (kreativitas)
  • Emotional maturity (kematangan emosi)
  • Excellent memory (kehebatan menyimpan data / menghafal)
  • Imagination (imajinasi)
  • Inquiring mind (keingintahuan)
  • Intuition (intuisi)
  • Inventiveness (daya cipta, penemuan)
  • Knowledge of a given subject (Pengetahuan spesifik)
  • Leadership abilities (kepemimpinan)
  • Literary aptitude (bakat kesastraan)
  • Logical-reasoning ability (kemampuan berlogika)
  • Manual dexterity (ketangkasan manual / ketrampilan tangan)
  • Mathematical ability (kemampuan matematis)
  • Mechanical know-how (penguasaan mekanis)
  • Moral character (karakter moral)
  • Musicality (permusikan)
  • Passionate interest in a specific topic (kegairahan mengikuti / mendalami topik tertentu)
  • Patience (kesabaran)
  • Persistence (ketangguhan)
  • Physical coordination (kerapian fisik)
  • Political astuteness (kelihaian berpolitik)
  • Problem-solving capacity (kemampuan menghadapi masalah)
  • Reflectiveness (kemampuan merefleksikan)
  • Resourcefulness (kepandaian mengatasi masalah)
  • Self-discipline (disiplin-diri)
  • Sense of humor (naluri melucu)
  • Social savvy (pemahaman sosial)
  • Spiritual sensibility (ketajaman spiritual)
  • Strong will (kemauan keras)
  • Verbal ability (kemampuan mengungkapkan secara verbal)

Daftar di atas baru sebagian dari sekian. Masih banyak kemampuan alamiah manusia yang belum atau tidak bisa dijabarkan. Dan lagi, kalau kita perhatikan praktek hidup, amat sangat jarang ada orang yang hanya diberi satu kemampuan dari daftar di atas. Dalam diri setiap manusia ada sekian kemampuan dari daftar di atas. Orang yang hebat di bidang IT tidak berarti hanya dibekali kemampuan tekun dalam mengutak-atik komputer. Ia juga punya kemauan keras, punya disiplin, kreatif, mau mempelajari hal-hal baru dan seterusnya. Seorang tokoh agama tidak berarti hanya dibekali kemampuan spiritual sensibility saja. Ia juga punya kemampuan lain yang mendukung keunggulannya, seperti verbal, sosial, dan lain-lain.

Hal lain yang perlu kita ingat adalah penjelasan Dr. Sternberg, pakar Psikologi dari Yale University (Practical Intelligence, John Meunier, Fall, 2003)). Selama bertahun-tahun mengkaji kemampuan manusia, ia berkesimpulan bahwa kemampuan manusia itu bukanlah sebuah kemampuan yang sifatnya sudah baku pada satu bentuk atau titik tertentu (not fixed ability), tetapi sebuah kemampuan yang sifatnya terus berkembang (developing abilities).

Antara Potensial & Aktual

Untuk meng-aktual-kan energi potensial itu dibutuhkan pembangkit, pengolahan atau pendeknya bisa disebut proses aktualisasi. Proses aktualisasi seperti apa saja yang bisa kita lakukan? Di bawah ini saya mencoba mendaftar proses yang bisa kita lakukan berdasarkan temuan ilmiah para ahli atau juga pengalaman orang lain yang sudah menemukannya:

1. Hasrat sejati (inner calling)

Di sini yang perlu kita lakukan adalah menemukan keinginan-keinginan yang selalu mendorong kita untuk meraihnya atau melakukannya. Konon, di setiap diri manusia sudah dipasang semacam stasiun radio yang selalu menyuarakan dorongan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang sifatnya sangat spesifik. Inilah yang disebut hasrat sejati - yaitu sebuah hasrat yang terus menggelora di dalam diri kita. Supaya hasrat sejati itu teratur dan tersalurkan, cobalah merumuskan dan memperjuangkan tujuan hidup yang sudah kita buat berdasarkan kemampuan kita hari ini. Kesimpulan Mary Lou Retton mengatakan, "Setiap orang memiliki bara api yang menyala-nyala di dalam hatinya untuk meraih sesuatu. Tujuan hidup adalah alat untuk menemukannya dan menjaganya supaya tetap menyala".

2. Pembuktian diri

Membuktikan diri artinya kita memunculkan ide, gagasan atau keinginan lalu kita memperjuangkannya sampai berhasil. Agar kita tidak terlalu sering gagal, pilihlah yang kira-kira bisa kita lakukan dengan kapasitas yang kita miliki hari ini. Semakin banyak yang bisa kita realisasikan, semakin tahu di mana sebetulnya keunggulan dan kelemahan kita. "Selama Anda belum bisa melihat hasil karya Anda, selama itu pula Anda belum tahu kemampuan Anda", pengalaman Martine Grime. Biasanya, selama kita belum bisa membuktikan apa yang sanggup kita lakukan (menghasilkan kreasi atau karya), penilaian kita tentang kemampuan kita masih belum akurat. Terkadang kita hanya merasa mampu padahal belum tentu kita memiliki kemampuan. Pembuktian adalah jalan untuk mengetahui apakah kita sudah memiliki kemampuan atau baru merasa mampu.

3. Perbandingan positif

Ini juga bisa kita lakukan. Tehniknya, kita dapat membuat perbandingan antara kita dengan orang lain. Orang lain itu bagaikan cermin buat kita. Mengetahui di mana keunggulan dan kelemahannya, biasanya akan menunjukkan di mana keunggulan dan kelemahan kita. Tehnik melihat dan melakukan sesuatu dengan orang lain (bersinergi atau bekerja sama) inilah yang pernah dilakukan Bruce Lee. Cuma ada satu yang perlu dicatat. Model perbandingan yang kita butuhkan adalah perbandingan positif. Maksudnya, kita membandingkan diri kita dengan orang lain, bukan untuk tujuan yang macam-macam, tetapi murni untuk memperbaiki diri.

4. Pengasahan (Practicing)

Konon, sekitar tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi terhadap kehidupan orang-orang berprestasi, seperti Mozart, Picasco, dan macam-macam. Hasilnya, mereka merekomendasikan kepada umat manusia untuk membuang mitos yang selama ini diyakini. Mitos seperti apa yang biasa kita yakini? Kita sering meyakini bahwa orang-orang berprestasi tinggi itu meraih prestasinya karena Tuhan "mengistimewakan" mereka dengan bakat yang dimiliki sementara kita bukan seperti mereka.

Mengapa keyakinan semacam ini disebut mitos? Telaah di lapangan menyimpulkan, ternyata bukan karena bakat semata yang membuat mereka berhasil. Memang benar, mereka meraih prestasi tinggi karena punya bakat, ada peluang, ada dukungan dan ada pelatihan, tetapi faktor yang paling banyak mendukung keberhasilan mereka adalah "practicing" atau mengasah bakat, keunggulan atau kelebihan alamiah yang melekat pada dirinya.

"Orang selalu berkata kepada saya bahwa bakat saya dan kejelian saya yang menjadi alasan kesuksesan saya. Mereka tidak pernah berkata tentang praktek, praktek, dan praktek yang saya jalankan".

(Ted Williams, 1918)

5. Penempatan / penyaluran

Tidak semua keunggulan alamiah itu berada di lokasi yang sangat jauh dari kita sehingga kita perlu mencarinya setengah mati. Ada kalanya bisa muncul dari hobi, kegemaran-kegemaran kecil, kegiatan tertentu yang kita lakukan tanpa beban seperti orang main-main atau dari hal-hal yang sangat dekat dengan kebiasaan kita sehari-hari. Di sini yang dibutuhkan adalah menyalurkan atau menempatkannya pada saluran atau bidang-bidang yang kira-kira menguntungkan kita lalu kita perbaiki dan kita kembangkan.

Sebagai tambahan, saya ingin mengutip hasil telaah dua orang pakar dari dunia yang berbeda. Mudah-mudahan ini juga bisa kita jadikan referensi. Pertama, dari seorang konsultan olahraga yang banyak menggeluti kehidupan atlet, Marie Dalloway, Ph.D, (2000-2004). Ia mensyaratkan adanya lima hal mendasar bagi seorang atlet untuk mengaktualkan bakat potensialnya, seperti berikut:

1. Bakat (Talent)

2. Kemauan keras untuk maju (Steel Will).

3. Dedikasi (cinta pekerjaan atau profesi)

4. Pembinaan dan Latihan

5. Training diri

Sidney Moon dalam konferensi tahunan kedelapan tentang bakat di Yunani (2002) menjelaskan bahwa supaya bakat seseorang itu muncul dan bermanfaat bagi orang itu (ter-aktualkan), maka ini menuntut tiga hal, yaitu:

1. Kemampuan memahami diri (tahu kelebihan, tahu kelemahan, tahu tujuan, dst)

2. Kemampuan membuat keputusan hidup yang bagus (berpikir positif, ber-aksi positif, bergaul di lingkungan kondusif, dst)

3. Kemampuan menaati disiplin–diri (kemauan, ketekunan, kegigihan, dst)

Harus diakui memang bahwa ada rahasia Tuhan di balik istilah bakat itu. Maksud saya, bakat dalam arti keunggulan alamiah (potensi) memang dimiliki oleh semua orang, tetapi kenyataannya ada orang yang tahu ("ditunjukkan") harta karunnya lebih dini sementara yang lain tidak. Ada bakat tertentu yang punya nilai sendiri untuk masa tertentu sementara yang lain tidak atau belum. Mengapa ini harus terjadi, tentu kita tidak tahu seratus persennya. Selamat mengeksplorasi bakat Anda.

REMAJA 2

Mengatasi Rasa Cemas Ketika Berbicara di Depan Umum

Berbicara di muka umum, entah itu berkhotbah, mengajar, berpidato atau memberi sambutan, sering mendatangkan stress bagi orang mendapat mandat itu. Sedapat mungkin kita biasanya berusaha menghindar.

Namun pada saat tertentu kita akan tidak bisa mengelak lagi. Sesungguhnya, berbicara di depan umum itu TIDAK HARUS MEMBUAT ANDA STRESS!

Rahasianya adalah jika Anda mengetahui penyebab stress ini, dan jika Anda menerapkan beberapa prinsip-prinsip ini, maka Anda justru akan menikmati ketika berbicara di depan umum.

Prinsip #1--Kecemasan Berbicara di Muka Umum BUKAN Berasal dari Dalam

Kebanyakan kita percaya bahwa seluruh hidup ini patut dicemaskan! Untuk mengatasi kecemasan ini secara efektif, Anda mesti menyadari bahwa Anda TIDAK perlu mencemaskan hidup Anda, termasuk juga dalam berbicara di depan umum. Ribuan orang telah belajar untuk berbicara di depan umum tanpa rasa cemas (kalaupun ada hanya sedikit sekali).

Pada mulanya, mereka ini juga sangat cemas. Lutut mereka gemetaran, suara mereka bergetar, pikiran menjadi kacau . . . selanjutnya Anda tahu sendiri. Tapi akhirnya mereka berhasil menghapus kecemasan itu.

Sebagai manusia biasa, Anda pun juga tidak berbeda dengan mereka. Jika mereka mampu mengatasi kecemasan itu, berarti Anda pun bisa! Anda hanya perlu mendapat pedoman, pengertian dan rencana aksi yang tepat untuk mewujudkan hal itu. Percayalah, sudah banyak berhasil, termasuk saya. Tetapi ingat juga, keberhasilan ini tidak bisa diraih dalam semalam. Ada proses yang harus dilalui.

Prinsip #2--Anda tidak Harus Cerdas dan Sempurna

Ketika melihat seorang sedang berkhotbah, kita lalu bergumam "Wow, saya tidak mungkin bisa secerdas, setenang, selucu dan semenarik dia." Sesungguhnya, Anda tidak harus cerdas, lucu atau menarik. Saya mengatakan ini dengan serius. Walaupun Anda hanya memiliki kemampuan rata-rata--bahkan di bawah rata-rata--Anda masih bisa menjadi pembicara sukses. Itu tergantung bagaimana Anda mendefinisikan kata "sukses" itu sendiri. Percayalah, hadirin itu tidak mengharapkan Anda tampil sempurna.

Inti dari berbicara di depan umum adalah: memberikan sesuatu yang bernilai dan bermakna bagi hadirin. Jika hadirin itu pulang sambil membawa sesuatu yang bermanfaat, maka mereka akan menilai Anda telah sukses. Jika mereka pulang dengan perasaan yang lega atau merasa mendapat manfaat untuk pekerjaannya, maka mereka akan menganggap bahwa tidak sia-sia meluangkan waktu untuk mendengarkan paparan Anda. Bahkan sekalipun lidah Anda terpeleset atau mengucapkan kata-kata yang tolol . . . mereka tidak peduli.

Yang penting mereka mendapat manfaat lain (Bahkan sekalipun Anda mengkritik mereka dan membuat gusar, Anda pun tetap berhasil karena membuat mereka lebih baik lagi.)

Prinsip #3--Anda hanya Butuh Dua atau Tiga Pokok Utama

Anda tidak perlu menyuguhkan segunung fakta pada hadirin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali yang mampu diingat hadirin (kecuali jika mereka mencatat, tentu saja). Pilihlah dua atau tiga point utama saja.

Yang diinginkan hadirin sebenarnya adalah mereka bisa membawa pulang dua atau tiga hal yang bermanfaat. Jika Anda bisa memasukkan hal ini dalam materi Anda, Anda bisa menghindari kompleksitas yang tidak perlu.

Ini berarti juga membuat tugas Anda sebagai pembicara jadi lebih ringan, dan lebih menyenangkan juga!

Prinsip #4--Anda Punya Tujuan yang Tepat

Prinsip ini sangat penting . . . jadi simaklah baik-baik. Kesalahan besar yang sering dilakukan oleh orang yang berbicara di depan umum adalah mereka tidak punya tujuan yang tepat. Inilah yang secara tidak mereka sadari menyebabkan kecemasan dan stress.

Seorang pembicara mengisahkan pengalamannya:"Dulu, saya pikir tujuan utama berpidato adalah membuat semua orang yang hadir setuju dengan pendapat saya." Karena itu, dia berusaha keras untuk meyakinkan semua hadirin. Jika ada satu orang saja yang tidak setuju, dia langsung meradang. Jika ada orang yang pulang duluan, jatuh tertidur, atau kelihatan tidak tertarik, orang ini merasa telah gagal. Tetapi kemudian dia menyadari hawa ambisi seperti ini terlihat menggelikan.

Apakah ada pembicara yang bisa meyakinkan 100% orang yang mendengarnya? Jawabannya: tidak ada! Sesungguhnya, sekeras apapun upaya Anda. . . selalu saja ada orang yang tidak sepakat dengan Anda. Tetapi tidak apa-apa. Ini hal yang biasa.

Di dalam kumpulan orang banyak selalu ada perbedaan pendapat, penilaian dan tanggapan. Ada yang positif, ada pula yang negatif. Tidak ada yang pasti dalam hal ini. Jika lamban menyelesaikan pekerjaan Anda, ada yang bersimpati pada Anda, ada pula yang mengkritik Anda dengan tajam. Jika Anda menuntaskan pekerjaan Anda dengan baik, ada yang memuji kemampuan Anda, ada pula yang sangsi bahwa Anda bisa mengerjakannya sendirian. Orang yang pulang duluan, mungkin bukannya tidak tertarik pada uraian Anda melainkan mungkin karena ada keperluan mendesak. Yang tertidur, mungkin semalaman begadang karena anaknya sakit.

Ingat, inti dari berbicara di depan umum adalah memberi nilai atau makna tertentu pada hadirin. Kata kuncinya adalah MEMBERI, bukan MENDAPAT! Dengan kata lain, tujuannya bukan mendapat sesuatu(persetujuan, ketenaran, penghormatan, pengikut dsb) dari pendengar Anda, melainkan memberikan sesuatu yang bermanfaat.

Prinsip #5--Kunci Sukses adalah Tidak Menganggap Diri Anda Seorang Pembicara!

Prinsip ini tampak paradoks. Kebanyakan orang telah terpengaruh oleh pembicara yang sukses. Kemudian agar sukses, kita berusaha sekuat tenaga memperlihatkan kualitas tertentu yang sebenarnya tidak kita miliki. Akibatnya kita menjadi putus asa ketika gagal meniru karakteristik dari orang terkenal, yang kita anggap sebagai kunci suksesnya.

Jelasnya, alih-alih menjadi diri sendiri, kita sering berusaha menjadi seperti orang lain! Padahal sebagian besar pembicara yang sukses itu melakukan hal yang sebaliknya! Mereka tidak berusaha menjadi orang lain, tetapi menjadi diri mereka sendiri. Dan mereka pun terkejut sendiri karena mereka bisa menikmati tugas yang bayak dicemaskan orang ini.

Rahasianya, karena mereka tidak berusaha menjadi pembicara tetapi menjadi diri mereka sendiri! Kita bisa melakukan hal yang sama. Apapun jenis kepribadian Anda, ataupun ketrampilan dan talenta yang Anda miliki, Anda pasti mampu berdiri di muka umum dan menjadi diri Anda sendiri.

Prinsip #6--Kerendahan Hati dan Humor Sangat Menarik Perhatian

Ada dua hal yang dapat dipakai oleh siapa saja untuk menarik perhatian orang ketika berbicara di muka umum, yaitu: kerendahan hati dan humor. Semua orang mengenal humor. Jika humor itu tidak menyakiti siapapun, cukup lucu dan sesuai dengan tema pembicaraan Anda, silahkan gunakan. Humor selalu menarik meskipun Anda tidak cakap menyampaikannya.

Sedangkan yang dimaksud kerendahan hati adalah ketika berbicara Anda membagikan pergumulan, kelemahan dan kegagalan Anda. Sebagai manusia biasa kita punya kelemahan dan ketika Anda jujur mengungkapkannya Anda menciptakan suasana yang nyaman sehingga orang lain juga bersedia mengungkapkan hal yang sama.

Dengan rendah hati di depan orang lain, justru akan membuat Anda lebih kredibel, bisa dipercaya dan disegani. Anda lebih mudah menjalin komunikasi dengan mereka karena dianggap sebagai "orangnya sendiri".

Kombinasi antara humor dan kerendahan hati seringkali sangat efektif. Dengan menceritakan pengalaman hidup Anda yang lucu dapat menjadi sarana komunikasi yang menarik. Demikian juga dengan menceritakan perasaan Anda saat itu. Misalnya, jika Anda merasa grogi ketika itu, jangan tutup-tutupi (karena mereka pasti bisa melihat). Dengan rendah hati, akuilah ketakutan itu dengan jujur.

Prinsip #7--Apa yang Terjadi Selama Anda Berbicara, Bisa Anda Manfaatkan untuk Keuntungan Anda!

Salah satu alasan orang takut berbicara di depan umum adalah karena dia tidak mau dipermalukan di hadapan orang banyak. Bagaimana nanti jika aku gemetaran dan suaraku tercekat? Bagaimana jika aku lupa sama sekali apa yang harus kusampaikan? Bagaimana jika hadirin menolakku dan melempari aku dengan benda-benda? Bagaimana nanti jika mereka keluar ruangan semua? Bagaimana nanti jika mereka mengajukan pertanyaan sukar dan komentar tajam?

Jika semua ini memang terjadi, memang akan membuat pembicara itu mendapat malu. Untungnya, hal ini tidak sering terjadi. Sekalipun ini terjadi, ada jurus jitu yang dapat dipakai untuk menangkalnya. Ingin tahu? Jika orang mulai beranjak pergi, Anda bisa bertanya: "Apakah dari yang saya sampaikan ada yang tidak Anda setujui? Apakah gaya dan cara saya menyampaikan kurang tepat? Apakah yang saya sampaikan tidak sesuai dengan harapan Anda? Ataukah ada yang salah masuk ruangan?" Dengan menanyakan hal ini secara jujur dan rendah hati, maka hadirin yang masih duduk akan setia hingga Anda selesai berbicara.

Pertanyaan ini juga memberikan kesempatan pada Anda untuk memperbaiki kesalahan yang Anda lakukan saat itu. Prinsip yang sama juga dapat diterapkan menghadapi penentang dan pengejek Anda. Anda selalu punya kesempatan untuk memakai situasi apapun yang terjadi untuk keuntungan Anda.

Prinsip #8--Anda Tidak Bisa Mengatur Perilaku Khalayak Anda

Ada beberapa hal yang bisa Anda atur, yaitu: pikiran Anda, persiapan Anda, pengaturan alat peraga Anda, penataan ruang pertemuan--tetapi satu hal yang tidak bisa diatur, yaitu audiens atau khalayak Anda. Mereka akan bertindak sesuai kehendak mereka sendiri.

Jika mereka terlihat lelah atau gelisah, jangan coba-coba untuk mengaturnya. Jika mereka membaca koran, atau tertidur biarkanlah itu sepanjang tidak mengganggu yang lain. Jika mereka tidak menyimak, jangan menghukum mereka

Jika Anda menganggap bahwa Anda harus mengatur perilaku orang lain, maka Anda akan stress sendiri. Anda hanya bisa mengatur diri Anda sendiri dan sarana pendukung.

Prinsip #9--Hadirin Sesungguhnya Menginginkan Anda Berhasil

Para hadirin menghendaki Anda sukses menyampaikan materi. Sesungguhnya, sebagian besar dari mereka sangat takut berbicara di depan orang banyak. Mereka tahu risiko kegagalan dan dipermalukan yang Anda ambil ketika Anda maju di depan mereka. Mereka mengagumi keberanian Anda mengambil risiko itu. Mereka akan di pihak Anda, apa pun yang terjadi.

Ini artinya, sebagian besar khalayak itu bisa memahami jika Anda membuat kesalahan. Tingkat toleransi mereka terhadap kesalahan Anda cukup tinggi. Anda perlu meyakini prinsip ini, terutama ketika merasa bahwa penampinan Anda sangat buruk.

Prinsip #10--Roh Kudus Akan Memampukan Anda

Prinsip terakhir ini sangat penting. Siapa pun Anda, ketika Roh Kudus berkarya dalam diri Anda, maka Anda akan menjadi pembicara yang mengubah hidup orang lain.

Ingatlah peristiwa Pentakosta. Petrus yang dikuasai Roh Kudus bisa menjadi pembicara yang hebat. Tetapi siapa sebenarnya Petrus? Dia "hanya" seorang Nelayan!

Nah, dengan mengingat kesepuluh prinsip ini, percayalah Anda tidak akan merasa cemas lagi ketika harus berbicara di depan umum. Cara paling mudah untuk mengingatnya, adalah dengan mempraktikannya dengan tekun. Saya sudah mengalami sendiri. Dulu, setiap kali harus memimpin PA, saya selalu basah keringat dingin. Perut saya juga mulas. Tetapi setelah beberapa kali melakukannya, perasaan cemas itu mulai sirna. Jika saya bisa, Anda pun pasti bisa!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes